Suami Sejati ( bag 3) "Akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Terhadap Istri-Istri Beliau"
Setelah kita mengetahui silsilah sejarah pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam marilah kita menelusuri bagaimanakah akhlak dan perhatian beliau kepada istri-istri beliau.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencumbui seluruh istri beliau setiap hari
Mungkin saja engkau heran jika ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencumbui istri-istrinya setiap hari???, Dengarkanlah tuturan Aisyah sebagaimana berikut ini:
عن عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ : " كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لا يُفَضِّلُ بَعْضَنَا عَلَى بَعْضٍ فِي الْقَسْمِ مِنْ مُكْثِهِ عِنْدَنَا ، وَكَانَ قَلَّ يَوْمٌ إِلا وَهُوَ يَطُوفُ عَلَيْنَا جَمِيعًا (امْرَأةً امْرَأةَ) فَيَدْنُو مِنْ كُلِّ امْرَأَةٍ مِنْ غَيْرِ مَسِيسٍ حَتَّى يَبْلُغَ إِلَى الَّتِي هُوَ يَوْمُهَا فَيَبِيتَ عِنْدَهَا
Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendahulukan sebagaian kami di atas sebagian yang lain dalam hal jatah menginap di antara kami (istri-istri beliau), dan beliau selalu mengelilingi kami seluruhnya (satu persatu) kecuali sangat jarang sekali beliau tidak melakukan demikian. Maka beliau pun mendekati (mencium dan mencumbui)[1] setiap wanita tanpa menjimaknya hingga sampai pada wanita yang merupakan jatah menginapnya, lalu beliau menginap di tempat wanita tersebut” (HR Abu Dawud no 2135, Al-Hakim di Al-Mustadrok no 2760, Ahmad VI/107. Dan tambahan yang terdapat dalam kurung merupakan tambahan dari riwayat Ahmad . Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani (Ash-Shahihah no 1479))
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencumbui seluruh istri beliau setiap hari
Mungkin saja engkau heran jika ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencumbui istri-istrinya setiap hari???, Dengarkanlah tuturan Aisyah sebagaimana berikut ini:
عن عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ : " كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لا يُفَضِّلُ بَعْضَنَا عَلَى بَعْضٍ فِي الْقَسْمِ مِنْ مُكْثِهِ عِنْدَنَا ، وَكَانَ قَلَّ يَوْمٌ إِلا وَهُوَ يَطُوفُ عَلَيْنَا جَمِيعًا (امْرَأةً امْرَأةَ) فَيَدْنُو مِنْ كُلِّ امْرَأَةٍ مِنْ غَيْرِ مَسِيسٍ حَتَّى يَبْلُغَ إِلَى الَّتِي هُوَ يَوْمُهَا فَيَبِيتَ عِنْدَهَا
Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendahulukan sebagaian kami di atas sebagian yang lain dalam hal jatah menginap di antara kami (istri-istri beliau), dan beliau selalu mengelilingi kami seluruhnya (satu persatu) kecuali sangat jarang sekali beliau tidak melakukan demikian. Maka beliau pun mendekati (mencium dan mencumbui)[1] setiap wanita tanpa menjimaknya hingga sampai pada wanita yang merupakan jatah menginapnya, lalu beliau menginap di tempat wanita tersebut” (HR Abu Dawud no 2135, Al-Hakim di Al-Mustadrok no 2760, Ahmad VI/107. Dan tambahan yang terdapat dalam kurung merupakan tambahan dari riwayat Ahmad . Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani (Ash-Shahihah no 1479))
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا انْصَرَفَ مِنَ الْعَصْرِ دَخَلَ عَلَى نِسَائِهِ فَيَدْنُوْ مِنْ إِحْدَاهُنَّ فَدَخَلَ عَلَى حَفْصَةَ رضي الله عنها فَاحْتَبَسَ أَكْثَرَ مَا كَانَ يَحْتَبِسُ فَغِرْتُ فَسَأَلْتُ عَنْ ذَلِكَ فَقِيْلَ لِي أَهْدَتْ لَهَا امْرَأَةٌ مِنْ قَوْمِهَا عُكَّةَ مِنْ عَسَلٍ فَسَقَتِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم مِنْهُ شَرْبَةً فَقُلْتُ أَمَا وَاللهِ لَنَحْتَالَنَّ لَهُ !!! ...
Dari Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika selesai sholat ashar maka beliau masuk menemui istri-istrinya lalu mencium dan mencumbui salah seorang di antara mereka. Maka (pada suatu hari) beliau masuk menemui Hafshoh putri Umar (bin Al-Khotthob) lalu beliau berlama-lamaan di tempat tinggal Hafshoh, maka akupun cemburu. Lalu aku menanyakan sebab hal itu maka dikatakan kepadaku bahwasanya seorang wanita dari kaum Hafshoh menghadiahkan kepadanya sebelanga madu, maka ia (Hafshoh)pun meminumkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari madu tersebut. Aku (Aisyah)pun berkata, “Demi Allah aku akan membuat hilah (semacam sandiwara) dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam…!!!” (HR Al-Bukhari no V/2000 no 4918, V/2017 no 4968, VI/2556 no 6571, Muslim no 1474)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala hendak sholat mencium istri beliau
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَبَّلَ امْرَأَةً مِنْ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ قَالَ قُلْتُ مَنْ هِيَ إِلاَّ أَنْتِ قَالَ فَضَحِكَتْ
Dari Urwah[2] dari Aisyah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium salah seorang istrinya kemudian keluar untuk sholat dan beliau tidak berwudhu. Maka akupun berkata, ‘Siapa lagi istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tercebut kalau bukan engkau” maka Aisyahpun tertawa. (HR Abu Dawud no 179, At-Thirmidzi no 86 Ibnu Majah no 502, Ahmad VI/210 no 25807)
Faedah: Hadits ini diantara dalil-dalil yang menunjukkan bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu.
Yang sungguh disayangkan sebagian suami terkadang bukan hanya tidak mencumbui istrinya bahkan yang lebih parah dari itu ia tidak menjimaki istrinya dan membiarkannya memendam kerinduan hingga waktu yang lama, bahkan sebagian suami meninggalkan istrinya hingga lebih dari sebulan tanpa alasan…atau bahkan lebih daripada itu. Terlebih lagi jika sang suami memiliki istri lebih dari satu kemudian ia terbuai dan terlena dengan salah satu istrinya dan meninggalkan istrinya yang lain tersiksa menantinya dengan penuh kerinduan dan tersiksa dengan penuh kecemburuan…!!!, lebih baik baginya untuk tidak diberi makan sebulan dari pada memendam kerinduan selama sebulan, kebutuhannya kepada sentuhan suaminya lebih dari kebutuhannya terhadap makanan dan minuman..!!!
Ibnu Taimiyyah ditanya tentang seorang lelaki yang tidak menjimaki istrinya hingga sebulan atau dua bulan maka apakah ia mendapat dosa atau tidak?, dan apakah seorang suami dituntut untuk menjimaki istrinya?
Beliau menjawab, “Wajib bagi seorang suami untuk menjimaki istrinya dengan yang sepatutnya. Bahkan ini termasuk hak istri yang paling ditekankan yang harus ditunaikan oleh suami, lebih daripada memberi makan kepadanya. Dan jimak yang wajib (dilakukan oleh suami) dikatakan bahwasanya wajibnya sekali setiap empat bulan, dan dikatakan juga sesuai dengan kebutuhan sebagaimana sang suami memberi makan kepada istri sesuai kadar kebutuhannya dan kemampuannya. Dan inilah pendapat yang paling benar diantara dua pendapat tersebut.” (Majmu’ Fatawa XXXII/271)
Bukankah menjimaki istri merupakan ibadah…???.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ؟ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيْهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرًا
“Dan seseorang diantara kalian menjimaki istrinya maka hal itu merupakan sedekah”. Mereka (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang diantara kita melepaskan syahwatnya lantas ia mendapatkan pahala?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Bagaimana menurut kalian jika ia melepaskan syahwatnya pada tempat yang haram (zina) bukankah ia berdosa?, maka demikianlah jika ia melepaskan syahwatnya di tempat yang halal maka ia mendapatkan pahala” (HR Muslim no 1006)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa menjimak istri merupakan ibadah yang pelakunya diberi ganjaran pahala. Barangsiapa yang kurang dalam melakukan ibadah ini (jimak) maka ia telah kurang dalam menunaikan kewajibannya. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
Sesungguhnya istrimu memiliki hak yang harus kau tunaikan. ( HR Al-Bukhari II/696 no 1873)
Hal ini menunjukan bahwa jimak merupakan hak istri yang harus ditunaikan oleh seorang suami. Sikap kurang memperhatikan hak ini bisa menimbulkan banyak cek-cok dalam kehidupan keluarga, bahkan terkadang merupakan sebab terbesar timbulnya perceraian.
Pertemuan keluarga setiap malam
عن أنس رضي الله عنه قال : كَانَ لِلنَّبِيَِّ صلى الله عليه وسلم تِسْعُ نِسْوَةٍ ، فَكَانَ إِذَا قَسَمَ بَيْنَهُنَّ لاَ يَنْتَهِي إِلَى الْمَرْأَةِ الأُوْلَى إِلاَّ فِي تِسْعٍ ، فَكُنَّ يَجْتَمِعْنَ كُلَّ لَيْلَةٍ فِي بَيْتِ الَّتِي يَأْتِيْهَا ، فَكَانَ فِي بَيْتِ عَائِشَةَ فَجَاءَتْ زَيْنَبُ رضي الله عنها فَمَدَّ يَدَهُ إِلَيْهَا ، فَقَالَتْ ــ أي عائشة ــ : هَذِهِ زَيْنَبُ ، فَكَفَّ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَدَهُ ، فَتَقَاوَلَتَا حَتَّى اسْتَخْبَتَا وَأُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَمَرَّ أَبُو بَكْرٍ رضي الله عنه عَلىَ ذَلِكَ فَسَمِعَ أَصْوَاتِهِمَا ، فَقَالَ اخْرُجْ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِلَى الصَّلاَةِ وَأَحُثُّ فِي أَفْوَاهِهِنَّ التُّرَابِ فَخَرَجَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ عَائِشَةُ الآنَ يَقْضِي النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم صَلاَتَهُ فَيَجِيءُ أَبُو بَكْرٍ فَيَفْعَلُ بِي وَيَفْعَلُ فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم صَلاَتَهُ أَتَاهَا أَبُو بَكْرٍ فَقَالَ لَهَا قَوْلاً شَدِيْدًا
Anas bin Malik berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki sembilan orang istri[3]. Beliau jika membagi (giliran jatah menginap) diantara mereka bersembilan maka tidaklah beliau kembali kepada wanita yang pertama kecuali setelah sembilan hari. Mereka selalu berkumpul di rumah istri yang gilirannya mendapat jatah nginap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka suatu saat mereka berkumpul di rumah Aisyah lalu datanglah Zainab dan beliau mengulurkan tangannya kepada Zainab. Aisyahpun berkata, “Ini adalah Zainab”[4], maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menarik tangannya kembali. Lalu mereka berdua (Aisyah dan Zainab) saling berbicara hingga mereka berdua berbicara dengan suara yang hiruk. Dan ditegakkan sholat, lalu Abu Bakar melewati mereka dan mendengar suara mereka berdua, Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pun berkata, “Keluarlah wahai Nabi Allah untuk sholat, dan aku akan menabur tanah pada mulut mereka berdua”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun keluar untuk sholat, Aisyahpun berkata, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah selesai sholat akan datang Abu Bakar dan akan mengatakan kepadaku ini dan itu”. Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai sholat maka Abu Bakarpun mendatangi Aisyah dan berkata kepadanya dengan perkataan yang tegas” (HR Muslim II/1084 no 1462)
Ibnu Katsir berkata, “…Dan istri-istri beliau berkumpul setiap malam di rumah istri yang mendapat giliran jatah nginapnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau pun terkadang makan malam bersama mereka kemudian masing-masing kembali ke tempat tinggalnya” (Tafsir Ibn Katsir I/467)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu memperhatikan penampilannya jika bertemu dengan istri-istrinya
Memperhatikan penampilan tubuh dan penampilan pakaian memiliki dampak positif yang cukup besar dalam menjaga kelestarian kehidupan rumah tangga. Sang istri berusaha berpenampilan menarik dengan pakaian yang menawan dan wewangian yang menggoda, demikian juga sang suami berusaha berpenampilan menawan di hadapan sang istri… maka sungguh indah kehidupan ini. Bayangkan lagi jika setiap hari demikian pemandangan kehidupan rumah tangga….apalagi jika kedua sejoli berusaha dalam kondisi seperti ini tatkala setiap kali bersua…sungguh romantis…!!!???.
Namun kenyataan yang terjadi di zaman ini, para wanita banyak yang berpenampilan untuk orang lain, bahkan terkadang sebagian suami yang bejat merasa bangga jika istrinya berpenampilan ayu dihadapan orang lain agar ia mengiklankan bahwa ia mempunyai istri yang ayu…demikian juga sebaliknya dengan sang suami yang hanya berpenampilan dan berwewangian jika bersua dengan sahabat-sahabatnya…rekan bisnisnya… Adapun jika bertemu dengan istrinya maka ia tidak peduli dengan pakaiannya yang kusut, aroma tubuhnya yang bau…dan….dan… maka bagaimankah kehidupan rumah tangga langgeng dengan penuh keromantisan jika kondisinya seperti ini..???!!!.
Sebagian para suami yang lalai, mereka menyangka bahwa istri-istri mereka saja yang wajib untuk menghias diri dan beraroma sedap dihadapan mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka. Adapun mereka, maka tidak perlu untuk menghias diri dan merapikan tubuh…!!!!
Apakah mereka lupa bahwa istri-istri mereka juga butuh dengan ketampanan mereka…??, butuh untuk memandang pemandangan yang indah…???, butuh untuk menghirup aroma yang segar dan wangi…???.
Ibnu Katsir berkata tatkala menafsirkan firman Allah
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ (النساء : 19
Dan bergaullah dengan mereka dengan baik (QS. 4:19)
“….Indahkanlah penampilan kalian semampu kalian. Sebagaimana engkau menyenangi ia (istrimu) berhias diri maka hendaknya engkau juga berbuat demikian dihadapannya. Allah berfirman
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ (البقرة : 228
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang sepatutnya. (QS. 2:228). (Tafsir Ibnu Katsir I/467)
Ibnu Abbas berkata,
إِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَتَزَيَّنَ لِلْمَرْأَةِ كَمَا أُحِبُّ أَنْ تَتَزَيَّنَ لِي لِأَنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْلُ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Sesungghnya aku senang berhias untuk istriku sebagaimana aku suka ia berhias untukku karena Allah berfirman “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang sepatutnya” (Atsar riwayat At-Thobari di tafsirnya II/453, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro VII/295 no 14505, dan Ibnu Abi Syaibah di Mushonnafnya IV/196 no 19263)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu memperhatikan penampilannya jika bertemu dengan istri-istrinya.
عن عائشة رضي الله عنها قالت : أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ بَدَأَ بِالسِّوَاكِ
Dari Aisyah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika masuk ke rumahnya maka yang pertama kali beliau lakukan adalah bersiwak” (HR Muslim I/220 no 253)
عن عائشة رضي الله عنها قالت : ... كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَشْتَدُّ عَلَيْهِ أَنْ تُوْجَدَ مِنْهُ الرِّيْحُ ... فَقَالَتْ عَائِشَةُ لِسَوْدَةَ إِذَا دَخَلَ عَلَيْكَ فَإِنَّهُ سَيَدْنُوْ مِنْكَ فَقُوْلِي لَـهُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَكَلْتَ مَغَافِيْرَ ؟ فَإِنَّهُ سَيَقُوْلُ لاَ ، فَقُوْلِي لَـهُ مَا هَذِهِ الرِّيْحُ ؟ ... فَلَمَّا دَخَلَ عَلَى حَفْصَةَ قَالَتْ لَهُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَلاَ أَسْقِيْكَ مِنْهُ ؟ قَالَ لاَ حَاجَةَ لِي بِهِ ، قَالَتْ تَقُوْلُ سَوْدَةُ سُبْحَانَ اللهِ لَقَدْ حَرَمْنَاهُ قَالَتْ قُلْتُ لَهَا اُسْكُتِي
Dari Aisyah berkata, (yaitu dalam kisah pengharaman madu) “…Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat merasa berat jika ditemukan darinya bau (yang tidak enak)…”, maka Aisyah berkata kepada Saudah, “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuimu maka ia akan mendekatimu (mencumbuimu) maka katakanlah kepadanya, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apakah engkau makan magofir (yaitu tumbuhan yang memiliki bau yang tidak enak)?, maka ia akan berkata, “Tidak”, lalu katakanlah, “Kalau begitu ini bau apaan?”….tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Hafshoh maka Hafshohpun berkata keapadanya, “Aku tuangkan madu buatmu?”, Rasulullah berkata, “Aku tidak pingin madu tersebut”. Saudah berkata, “Mahasuci Allah, kita telah menjadikannya mengharamkan madu”. Aisyah berkata kepada Saudah, “Diamlah!!!” (HR Al-Bukhari VI/2556 no 6571)
Bahkan tidaklah mengapa jika seorang suami sengaja untuk memiliki pakaian yang agak mahal sedikit demi menjaga penampilannya di hadapan istrinya selama tidak sampai derajat pemborosan.
Anas bin Malik berkata
كَانَ أَحَبُّ الثِّيَابِ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنْ يَلْبَسَهَا الْحِبَرَةَ
Pakaian yang paling senang dipakai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Hibaroh. (HR Al-Bukhari no 5476 dan Muslim no 2079)
Berkata Ibnu Baththol, “Hibaroh adalah pakaian dari negeri Yaman yang terbuat dari kain Quthn. Dan ia merupakan pakaian termulia di sisi mereka” (Fathul Bari X/277)
Berkata Al-Qurthubi, “Dinamakan Hibaroh karena pakaian tersebut تُحَبِّرُ yaitu menghias dan mengindahkan (pemakainya)” (Fathul Bari X/277)
Bahkan tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat beliau tidak meninggalkan kain yang indah ini. Aisyah berkata
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم حِيْنَ تُوُفِّيَ سُجِّيَ بِبُرَدِ حِبَرَةٍ
Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala wafat beliau ditutupi dengan kain hibaroh. (HR Al-Bukhari no 5477)
Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk berhias dan berpenampilan rapi dan bersih. Tatkala beliau melihat seseorang memakai pakaian yang usang maka beliau berkata kepadanya, “Apakah engkau memiliki harta?”, orang itu berkata, “Iya Rasulullah, aku memiliki seluruh jenis harta (yaitu yang dikenal saat itu) (Hasyiah As-Sindi VIII/181)”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya
فَإِذَا آتَاكَ اللهُ مَالاً فَلْيُرَ أَثَرُهُ عَلَيْكَ
Jika Allah memberikan harta kepadamu maka hendaknya terlihat tanda harta tersebut pada dirimu. (HR An-Nasai no 5223 dan dshahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Ibnu Hajar mengomentari hadits ini, “Yaitu hendaknya ia memakai pakaian yang sesuai dengan kondisinya yaitu baju yang indah dan bersih agar orang-orang yang membutuhkan tahu keadaannya untuk meminta kepadanya. Dengan tetap memperhatikan niat (yang baik dan tidak untuk bersombong ria-pen) serta tidak sampai pada derajat pemborosan” (Fathul Bari X/260)
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ (البقرة : 228
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang sepatutnya. (QS. 2:228). (Tafsir Ibnu Katsir I/467)
Ibnu Abbas berkata,
إِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَتَزَيَّنَ لِلْمَرْأَةِ كَمَا أُحِبُّ أَنْ تَتَزَيَّنَ لِي لِأَنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْلُ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Sesungghnya aku senang berhias untuk istriku sebagaimana aku suka ia berhias untukku karena Allah berfirman “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang sepatutnya” (Atsar riwayat At-Thobari di tafsirnya II/453, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro VII/295 no 14505, dan Ibnu Abi Syaibah di Mushonnafnya IV/196 no 19263)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu memperhatikan penampilannya jika bertemu dengan istri-istrinya.
عن عائشة رضي الله عنها قالت : أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ بَدَأَ بِالسِّوَاكِ
Dari Aisyah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika masuk ke rumahnya maka yang pertama kali beliau lakukan adalah bersiwak” (HR Muslim I/220 no 253)
عن عائشة رضي الله عنها قالت : ... كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَشْتَدُّ عَلَيْهِ أَنْ تُوْجَدَ مِنْهُ الرِّيْحُ ... فَقَالَتْ عَائِشَةُ لِسَوْدَةَ إِذَا دَخَلَ عَلَيْكَ فَإِنَّهُ سَيَدْنُوْ مِنْكَ فَقُوْلِي لَـهُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَكَلْتَ مَغَافِيْرَ ؟ فَإِنَّهُ سَيَقُوْلُ لاَ ، فَقُوْلِي لَـهُ مَا هَذِهِ الرِّيْحُ ؟ ... فَلَمَّا دَخَلَ عَلَى حَفْصَةَ قَالَتْ لَهُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَلاَ أَسْقِيْكَ مِنْهُ ؟ قَالَ لاَ حَاجَةَ لِي بِهِ ، قَالَتْ تَقُوْلُ سَوْدَةُ سُبْحَانَ اللهِ لَقَدْ حَرَمْنَاهُ قَالَتْ قُلْتُ لَهَا اُسْكُتِي
Dari Aisyah berkata, (yaitu dalam kisah pengharaman madu) “…Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat merasa berat jika ditemukan darinya bau (yang tidak enak)…”, maka Aisyah berkata kepada Saudah, “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuimu maka ia akan mendekatimu (mencumbuimu) maka katakanlah kepadanya, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apakah engkau makan magofir (yaitu tumbuhan yang memiliki bau yang tidak enak)?, maka ia akan berkata, “Tidak”, lalu katakanlah, “Kalau begitu ini bau apaan?”….tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Hafshoh maka Hafshohpun berkata keapadanya, “Aku tuangkan madu buatmu?”, Rasulullah berkata, “Aku tidak pingin madu tersebut”. Saudah berkata, “Mahasuci Allah, kita telah menjadikannya mengharamkan madu”. Aisyah berkata kepada Saudah, “Diamlah!!!” (HR Al-Bukhari VI/2556 no 6571)
Bahkan tidaklah mengapa jika seorang suami sengaja untuk memiliki pakaian yang agak mahal sedikit demi menjaga penampilannya di hadapan istrinya selama tidak sampai derajat pemborosan.
Anas bin Malik berkata
كَانَ أَحَبُّ الثِّيَابِ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنْ يَلْبَسَهَا الْحِبَرَةَ
Pakaian yang paling senang dipakai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Hibaroh. (HR Al-Bukhari no 5476 dan Muslim no 2079)
Berkata Ibnu Baththol, “Hibaroh adalah pakaian dari negeri Yaman yang terbuat dari kain Quthn. Dan ia merupakan pakaian termulia di sisi mereka” (Fathul Bari X/277)
Berkata Al-Qurthubi, “Dinamakan Hibaroh karena pakaian tersebut تُحَبِّرُ yaitu menghias dan mengindahkan (pemakainya)” (Fathul Bari X/277)
Bahkan tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat beliau tidak meninggalkan kain yang indah ini. Aisyah berkata
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم حِيْنَ تُوُفِّيَ سُجِّيَ بِبُرَدِ حِبَرَةٍ
Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala wafat beliau ditutupi dengan kain hibaroh. (HR Al-Bukhari no 5477)
Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk berhias dan berpenampilan rapi dan bersih. Tatkala beliau melihat seseorang memakai pakaian yang usang maka beliau berkata kepadanya, “Apakah engkau memiliki harta?”, orang itu berkata, “Iya Rasulullah, aku memiliki seluruh jenis harta (yaitu yang dikenal saat itu) (Hasyiah As-Sindi VIII/181)”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya
فَإِذَا آتَاكَ اللهُ مَالاً فَلْيُرَ أَثَرُهُ عَلَيْكَ
Jika Allah memberikan harta kepadamu maka hendaknya terlihat tanda harta tersebut pada dirimu. (HR An-Nasai no 5223 dan dshahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Ibnu Hajar mengomentari hadits ini, “Yaitu hendaknya ia memakai pakaian yang sesuai dengan kondisinya yaitu baju yang indah dan bersih agar orang-orang yang membutuhkan tahu keadaannya untuk meminta kepadanya. Dengan tetap memperhatikan niat (yang baik dan tidak untuk bersombong ria-pen) serta tidak sampai pada derajat pemborosan” (Fathul Bari X/260)
Bersambung ...
Kota Nabi -shallahu ‘alaihi wa sallam -, 5 Februari 2006
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com
Catatan Kaki:
[1] Makna dari فَيَدْنُو مِنْهَا (mendekati) adalah mencium dan mencumbunya sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Fath IX/379, dan ini sesuai dengan riwayat Ahmad وَيَلْمَسُ (lalu menyentuhnya)
[2] Ulama hadits berselisih pendapat, ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Urwah di sini adalah Urwah Al-Muzani (dan kedudukannya adalah majhul sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar dalam At-Taqrib). Dan ada yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Urwah di sini adalah Urwah bin Az-Zubair. Dan kemungkinan kedua inilah yang dipilih oleh Syamsul Haq Al-Adzim Abadi (penulis ‘Aunul Ma’bud) dengan dalil bahwasanya dalam riwayat Ibnu Majah dan riwayat Imam Ahmad jelas disebutkan bahwa Urwah adalah Urwah bin Zubair. Berkata Syaikh Abbad –hafidzohullah-, “Dan kemungkinan yang nampak bahwasanya Urwah pada sanad hadits ini adalah Urwah bin Az-Zubair karena Aisyah adalah bibi (kholah)nya, dan pembicaraan yang terjadi antara Urwah dan Aisyah kemungkinannya adalah pembicaraan yang terjadi antara seseorang dengan bibinya” . Syaikh Abbad juga menjelaskan jika seandainya Urwah yang terdapat dalam isnad ini adalah Urwah Al-Muzani maka hadits ini tetap merupakan hujjah karena banyaknya jalan yang mendukungnya. (Syarh sunan Abu Dawud kaset no 20). Dan inilah pendapat Al-Mubarokfuuri, ia berkata, “Akan tetapi hadits ini diriwayatkan dari jalan yang banyak maka lemahnya hadits ini terangkat karena banyaknya jalan” (Tuhfatul Ahwadzi I/240). Dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
[3] Berkata Imam An-Nawawi, “Kesembilan orang tersebut adalah yang ditingal wafat oleh Rasulullah r (yaitu mereka masih menjadi istri-istri Rasulullah r hingga wafat beliau). Mereka itu adalah Aisyah, Hafshoh, Saudah, Zainab, Ummu Salamah, Ummu Habibah, Maimunah, Juwairiyah, dan Shofiyyah” (Al-Minhaj X/47)
[4] Imam An-Nawawi berkata, “Dikatakan bahwa Nabi r tidak bermaksud menyentuh Zainab akan tetapi ia r bermaksud untuk menyentuh Aisyah yang memiliki hak giliran nginap, dan tatkala itu di malam hari dan tidak ada lampu di rumah” (Al-Minhaj X/47)
Baca Juga:
[2] Ulama hadits berselisih pendapat, ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Urwah di sini adalah Urwah Al-Muzani (dan kedudukannya adalah majhul sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar dalam At-Taqrib). Dan ada yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Urwah di sini adalah Urwah bin Az-Zubair. Dan kemungkinan kedua inilah yang dipilih oleh Syamsul Haq Al-Adzim Abadi (penulis ‘Aunul Ma’bud) dengan dalil bahwasanya dalam riwayat Ibnu Majah dan riwayat Imam Ahmad jelas disebutkan bahwa Urwah adalah Urwah bin Zubair. Berkata Syaikh Abbad –hafidzohullah-, “Dan kemungkinan yang nampak bahwasanya Urwah pada sanad hadits ini adalah Urwah bin Az-Zubair karena Aisyah adalah bibi (kholah)nya, dan pembicaraan yang terjadi antara Urwah dan Aisyah kemungkinannya adalah pembicaraan yang terjadi antara seseorang dengan bibinya” . Syaikh Abbad juga menjelaskan jika seandainya Urwah yang terdapat dalam isnad ini adalah Urwah Al-Muzani maka hadits ini tetap merupakan hujjah karena banyaknya jalan yang mendukungnya. (Syarh sunan Abu Dawud kaset no 20). Dan inilah pendapat Al-Mubarokfuuri, ia berkata, “Akan tetapi hadits ini diriwayatkan dari jalan yang banyak maka lemahnya hadits ini terangkat karena banyaknya jalan” (Tuhfatul Ahwadzi I/240). Dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
[3] Berkata Imam An-Nawawi, “Kesembilan orang tersebut adalah yang ditingal wafat oleh Rasulullah r (yaitu mereka masih menjadi istri-istri Rasulullah r hingga wafat beliau). Mereka itu adalah Aisyah, Hafshoh, Saudah, Zainab, Ummu Salamah, Ummu Habibah, Maimunah, Juwairiyah, dan Shofiyyah” (Al-Minhaj X/47)
[4] Imam An-Nawawi berkata, “Dikatakan bahwa Nabi r tidak bermaksud menyentuh Zainab akan tetapi ia r bermaksud untuk menyentuh Aisyah yang memiliki hak giliran nginap, dan tatkala itu di malam hari dan tidak ada lampu di rumah” (Al-Minhaj X/47)
Baca Juga: