Kecintaan dan Pengagungan Salaf Kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
Disebutkan bahwasanya Imam Malik pernah ditanya tentang Ayyub As-Sikhtiani?, maka beliaupun menjawab, “Tidaklah aku menyampaikan hadits kepada kalian dari seorangpun kecuali Ayyub lebih tsiqoh (terpercaya) daripada orang tersebut”[1] Imam Malik bercerita tentang Ayyub, beliau berkata, “Ayyub telah berhaji dua kali dan aku (dulu) telah melihatnya namun aku tidak mendengar (mengambil) hadits darinya, hanya saja Ayyub jika ia menyebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diapun menangis hingga akhirnya akupun menyayanginya. Dan tatkala aku menyaksikan apa yang aku lihat dan pengagungannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akupun menulis (mengambil) hadits darinya.”[2]
Berkata Mush’ab bin Abdillah, “Imam Malik jika menyebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berubah wajahnya dan menunduk hingga hal itu memberatkan orang-orang yang duduk bersama dia. Pada suatu hari Imam Malik ditanya tentang sikapnya itu maka iapun berkata, “Seandainya kalian melihat apa yang aku lihat maka kalian tidak akan mengingkari (merasa berat) dengan sikapku ini”. Imam Malik menyebutkan dari Muhammad bin Al-Munkadir –dia adalah pemimpin para qori’- “Hampir-hampir tidak pernah sama sekali kami bertanya kepada Muhammad bin Al-Munkadir tentang satu haditspun kecuali ia menangis hingga kamipun menyayanginya.”[3] Dan aku (Mush’ab bin Abdillah) telah melihat Ja’far bin Muhammad –dan dia adalah orang yang suka bercanda dan tersenyum- jika disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dihadapannya maka menguning (pucat) wajahnya, tidak pernah aku melihatnya menyampaikan satu haditspun dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali dia dalam keadaan telah bersuci. Beberapa lama aku sering bolak-balik menghampirinya dan tidaklah aku melihatnya kecuali dalam tiga kondisi. Sedang shalat, atau dalam keadaan diam (tidak berbicara) atau sedang membaca Al-Qur’an. Dan dia tidaklah berbicara sesuatu yang tidak berfaedah, dan dia adalah termasuk ulama dan ahli ibadah yang takut kepada Allah. Hasan Al-Bashri jika menyebutkan hadits tentang rintihan dan tangisan akar pohon korma[4] beliau berkata, “Wahai kaum muslimin, kayu merintih kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena rindu ingin bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kalian lebih berhak untuk rindu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”[5]
Berkata Mush’ab bin Abdillah, “Imam Malik jika menyebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berubah wajahnya dan menunduk hingga hal itu memberatkan orang-orang yang duduk bersama dia. Pada suatu hari Imam Malik ditanya tentang sikapnya itu maka iapun berkata, “Seandainya kalian melihat apa yang aku lihat maka kalian tidak akan mengingkari (merasa berat) dengan sikapku ini”. Imam Malik menyebutkan dari Muhammad bin Al-Munkadir –dia adalah pemimpin para qori’- “Hampir-hampir tidak pernah sama sekali kami bertanya kepada Muhammad bin Al-Munkadir tentang satu haditspun kecuali ia menangis hingga kamipun menyayanginya.”[3] Dan aku (Mush’ab bin Abdillah) telah melihat Ja’far bin Muhammad –dan dia adalah orang yang suka bercanda dan tersenyum- jika disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dihadapannya maka menguning (pucat) wajahnya, tidak pernah aku melihatnya menyampaikan satu haditspun dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali dia dalam keadaan telah bersuci. Beberapa lama aku sering bolak-balik menghampirinya dan tidaklah aku melihatnya kecuali dalam tiga kondisi. Sedang shalat, atau dalam keadaan diam (tidak berbicara) atau sedang membaca Al-Qur’an. Dan dia tidaklah berbicara sesuatu yang tidak berfaedah, dan dia adalah termasuk ulama dan ahli ibadah yang takut kepada Allah. Hasan Al-Bashri jika menyebutkan hadits tentang rintihan dan tangisan akar pohon korma[4] beliau berkata, “Wahai kaum muslimin, kayu merintih kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena rindu ingin bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kalian lebih berhak untuk rindu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”[5]
Abdurrahman bin Qosim pernah menyebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka pucatlah wajahnya seakan-akan telah kering darah dari wajahnya. Lidahnya kering di mulutnya karena pengagunggannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku (Mush’ab bin Abdillah) pernah mendatangi ‘Amir bin Abdillah, jika disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapannya maka diapun menangis hingga kering air matanya”
Dan aku telah melihat Imam Az-Zuhri –dan dia adalah orang yang paling dermawan dan paling dekat dengan manusia-, jika disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisinya maka seakan-akan engkau tidak mengenalnya dan dia tidak mengenalmu.
Dan aku pernah mendatangi Sofwan bin Sulaim –dan dia adalah termasuk ahli ibadah dan kesungguhan-, jika disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapannya maka iapun menangis hingga orang-orang pergi meninggalkaannya”[6]
Berkata ‘Amr bin Maimun, “Aku bolak-balik mendatangi Ibnu Mas’ud selama setahun, dan tidaklah aku pernah mendengarnya berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda” kecuali pada suatu hari ia menyampaikan hadits dan keluar dari lisannya perkataan “Rasulullah telah bersabda”, kemudian menimpa beliau ketakutan hingga aku melihat keringat keluar dari keningnya kemudian ia berakat, هكذا إن شاء الله، أو فوق ذا، أَو مَا دون ذا “Seperti ini insya Allah, atau kurang lebih seperti ini (lafal haditsnya sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) kemudian mengembang kedua pipi beliau, berubah masam wajahnya dan kedua matanya berlinang air mata,[7]
Para imam ahli hadits, banyak diantara mereka yang tidak menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali mereka dalam keadaan berwudhu. Diantara mereka adalah Qotadah, Ja’far bin Muhammad, Malik bin Anas, Al-A’masy. Bahkan hal ini jadi mustahab bagi mereka dan mereka membenci penyampaian hadits tanpa wudhu. Berkata Dhiror bin Murroh, “Mereka membenci mereka menyampaikan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan tanpa berwudhu”. Berkata Ishaq, “Aku melihat Al-A’masy jika dia hendak menyampaikan hadits dan dia dalam keadaan tidak berwudhu maka dia bertayammum”[8]
Berkata Abu Usamah Al-Khuza’i, “Imam Malik jika ingin keluar untuk menyampaikan hadits ia berwudhu sebagaimana wudhu untuk melaksanakan sholat dan memakai pakaiannya yang paling indah, memakai kopiah beliau dan menyisir (merapikan) jenggot beliau. Beliau ditanya tentang sikapnya itu maka kata beliau, “Aku mengagungkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan berbuat demikian”[9]
Berkata Ibnu Abi Az-Zinad, “Said ibn Al-Musayyib tatkala beliau sakit beliau berkata, “Dudukkan aku, aku merasa berat untuk menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berbaring”[10]
Muhammad bin Sirin berbicara dan tertawa, namun jika datang hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka iapun dalam keadaan khusyu’”[11]
Berkata Ahmad bin Sulaiman Al-Qotton, “Tidak ada yang berbicara di majelis penyampaian hadits Abdurrahman bin Mahdi, dan tidak ada yang meruncing alat tulisnya, dan tidak seorangpun yang tersenyum. Jika ada yang berbicara atau meruncing alat tulisnya di majelisnya maka iapun berteriak dan memakai kedua sendalnya lalu masuk dalam rumahnya (tidak jadi menyampaikan hadits). Demikian juga yang dilakukan oleh Ibnu Numair, dan dia adalah termasuk orang yang paling tegas dalam perkara ini. Waki’ juga demikian, orang-orang yang berada di majelisnya seakan-akan mereka sedang melaksanakan sholat. Jika ia mengingkari suatu perkara yang dilakukan diantara mereka maka iapun memakai sendalnya lalu masuk dalam rumahnya. Ibnu Numair marah dan berteriak, dan jika ia melihat ada yang meruncing alat tulisnya maka berubahlah wajahnya”. Berkata Hammad bin Salamah, “Kami sedang bersama Ayyub lalu kami mendengar suara (keras namun tidak jelas), maka Ayyub berkata, “Suara apa ini?, apakah kalian tidak tahu bahwasanya mengangkat suara tatkala hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam disampaikan (dibacakan) seperti mengangkat suara dihadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala ia masih hidup??[12]
Sampai kabar kepada Mu’awiyah bahwasanya Kabis bin Robi’ah menyerupai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala Kabis masuk melalui pintu rumah menemui Mu’awiyah maka berdirilah Mu’awiyyah dari tempat duduknya dan menemuinya, mencium keningnya, serta memberikannya pemberian hanya karena keserupaan wajahnya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”[13]
Wahai saudaraku..., bagaimana kita jika dibandingkan dengan mereka para salaf?? mana tanda dan buah cinta kita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?? Lihatlah buah cinta salaf kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana pengagungan mereka terhadapnya?? Mana bukti pengakuan cinta kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, manakah hakekatnya??
Firanda Andirja
www.firanda.com
Catatan Kaki:
[1] Siar A’lam An-Nubala 6/24
[2] Siar A’lam An-Nubala 6/17
[3] Hilyatul Aulya’ 3’147, As-Siar 5/354,355
[4] HR Al-Bukhari no 3583, 3584, 3585, Nabi dahulu berkhutbah di sebuah pohon korma, lalu dibuatkan mimbar bagi beliau. Tatkala tiba hari jum’at dan Nabi berkhutbah di atas mimbar terdengarlah suara rintihan dan tangisan pohon kurma tersebut karena ditinggalkan oleh Nabi.
[5] Siar A’lam An-Nubala 4/570, Jami’ byanil ‘ilmi wa fadhlihi karya Ibnu Abdilbar hal 572 (maktabah ibnu Taimiyah)
[6] As-Syifa bita’rifi huquqil Musthofa, karya Al-Qodi Iyadh hal 598
[7] Atsar ini dikeluarkan oleh Al-Khothib Al-Bagdadi dalam kitabnya Al-Jami’ Li Akhlaqi Ar-Rawi wa Adabis Sami’ 2/66-67, lihat As-Syifa bita’rifi huquqil Musthofa, karya Al-Qodi Iyadh 2/599. Tidak sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin di zaman kita ini yang menyampaikan hadits dengan tanpa memperhatikan teks hadits tersebut dengan baik. Terkadang mereka menyampaikan hadits tersebut dengan hanya membawakan maknanya dan mereka keliru dalam memahami makna tersebut. Ibnu Mas’ud yang mendengar langsung hadits Rasulullah saja sangat takut jika teks hadits yang dia sampaikan tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Bagaimana pula dengan begitu banyak orang yang menyampaikan hadits yang lemah bahkan hadits-hadits palsu dengan berkata, “Rasulullah telah bersabda demikian…” dan tidak ada sama sekali rasa takut dalam diri mereka.
[8] Jami’ bayanil ‘ilmi wa fadhlihi, karya ibnu Abdilbar 2/1217 dan syarh As-Syifa 2/77
[9] Al-Jami’ karya Al-Khotib Al-Bagdadi 2/34 dan lihat syarh AS-Syifa 2/77
[10] Al-Jami’ karya Al-Khotib Al-Bagdadi 2/34, Jami’ bayanil ‘ilmi wa fadhlihi 2/1220
[11] Al-Jami’ karya Al-Khotib Al-Bagdadi 2/57
[12] Al-Jami’ karya Al-Khotib Al-Bagdadi 1/128,130
[13] As-Syifa bita’rifi huquqil Musthofa, karya Al-Qodi Iyadh 2/610
[2] Siar A’lam An-Nubala 6/17
[3] Hilyatul Aulya’ 3’147, As-Siar 5/354,355
[4] HR Al-Bukhari no 3583, 3584, 3585, Nabi dahulu berkhutbah di sebuah pohon korma, lalu dibuatkan mimbar bagi beliau. Tatkala tiba hari jum’at dan Nabi berkhutbah di atas mimbar terdengarlah suara rintihan dan tangisan pohon kurma tersebut karena ditinggalkan oleh Nabi.
[5] Siar A’lam An-Nubala 4/570, Jami’ byanil ‘ilmi wa fadhlihi karya Ibnu Abdilbar hal 572 (maktabah ibnu Taimiyah)
[6] As-Syifa bita’rifi huquqil Musthofa, karya Al-Qodi Iyadh hal 598
[7] Atsar ini dikeluarkan oleh Al-Khothib Al-Bagdadi dalam kitabnya Al-Jami’ Li Akhlaqi Ar-Rawi wa Adabis Sami’ 2/66-67, lihat As-Syifa bita’rifi huquqil Musthofa, karya Al-Qodi Iyadh 2/599. Tidak sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin di zaman kita ini yang menyampaikan hadits dengan tanpa memperhatikan teks hadits tersebut dengan baik. Terkadang mereka menyampaikan hadits tersebut dengan hanya membawakan maknanya dan mereka keliru dalam memahami makna tersebut. Ibnu Mas’ud yang mendengar langsung hadits Rasulullah saja sangat takut jika teks hadits yang dia sampaikan tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Bagaimana pula dengan begitu banyak orang yang menyampaikan hadits yang lemah bahkan hadits-hadits palsu dengan berkata, “Rasulullah telah bersabda demikian…” dan tidak ada sama sekali rasa takut dalam diri mereka.
[8] Jami’ bayanil ‘ilmi wa fadhlihi, karya ibnu Abdilbar 2/1217 dan syarh As-Syifa 2/77
[9] Al-Jami’ karya Al-Khotib Al-Bagdadi 2/34 dan lihat syarh AS-Syifa 2/77
[10] Al-Jami’ karya Al-Khotib Al-Bagdadi 2/34, Jami’ bayanil ‘ilmi wa fadhlihi 2/1220
[11] Al-Jami’ karya Al-Khotib Al-Bagdadi 2/57
[12] Al-Jami’ karya Al-Khotib Al-Bagdadi 1/128,130
[13] As-Syifa bita’rifi huquqil Musthofa, karya Al-Qodi Iyadh 2/610
http://www.firanda.com/index.php/artikel/aqidah/108-kecintaan-dan-pengagungan-salaf-kepada-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam