KUPAS TUNTAS POLIGAMI (Maksud Adil, Izin istri pertama,dll)
Apa yang Dimaksud Adil dalam Poligami?
Oleh: Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz
Soal:
Di dalam Al-Quran terdapat ayat tentang poligami yang menyebutkan:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (An-Nisaa’: 3)
Di dalam Al-Quran terdapat ayat tentang poligami yang menyebutkan:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (An-Nisaa’: 3)
Juga firman Allah dalam ayat lain:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. ” (An-Nisaa’: 129)
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. ” (An-Nisaa’: 129)
Pada ayat pertama disyaratkan untuk adil di dalam hal menikah lebih dari satu istri dan pada ayat kedua dijelaskan bahwa syarat untuk berbuat adil itu tidak akan mungkin dilakukan. Maka apakah ayat kedua itu menghapus hukum dari ayat pertama yang berarti tidaklah pernikahan itu melainkan hanya dengan satu istri karena syarat adil tidak mungkin bisa dilakukan?
Berilah kami pengetahuan, semoga Allah membalas anda dengan kebaikan.
Jawab:
Tidak ada pertentangan di dalam dua ayat tersebut dan tidak pula ada penghapusan hukum oleh salah satu dari kedua ayat tersebut terhadap yang lainnya.
Perbuatan adil yang diperintahkan adalah yang sesuai kemampuan, yaitu adil di dalam pembagian waktu bermalam dan pemberian nafkah.
Sedangkan adil dalam masalah cinta dan hal-hal yang berkaitan dengannya seperti perbuatan intim dan sejenisnya, maka hal ini tidak ada kemampuan.Permasalahan tersebut yang dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala :
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.” (An-Nisaa’: 129)
Oleh karena itu telah kuat riwayat hadits dari Nabi pada riwayat Aisyah Radhiyallahu’anha, ia berkata:
“Beliau biasa membagi hak diantara istri-istrinya lalu beliau berdoa: ‘Ya Allah, inilah usahaku membagi terhadap apa yang aku mampu, maka janganlah Engkau cela aku terhadap apa yang Engkau mampu sedangkan aku tidak mampu. ” (Riwayat Abu Dawud, At Tirmidzi, An-Nasal, dan Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan- AlHakim)
(Dinukil untuk http://ulamasunnah.wordpress.com dari buku Fatwa-Fatwa Ulama Ahlus Sunnah seputar Pernikahan. Penerbit Qaulan Karima Purwokerto. Penerjemah : Abu Abdirrahman Muhammad bin Munir)
Catatan ringan tentang POLIGAMI
Penulis: Ummu Salamah As Salafiyyah
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا (3)
3. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil [265], Maka (kawinilah) seorang saja [266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An Nisa’ : 4)
[265] berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam memenuhi isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[266] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad ayat Ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
[266] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad ayat Ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
- APAKAH DISUNNAHKAN POLIGAMI DALAM ISLAM ?
Poligami ini disunnahkan bila seorang laki-laki dapat berbuat adil di antara istri-istrinya berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
“Namun bila kalian khawatir tidak dapat berbuat adil maka nikahilah satu wanita saja” (QS. An Nisa: 3)
Dan juga bila ia merasa dirinya aman dari terfitnah dengan mereka dan aman dari menyia-nyiakan hak Allah dengan sebab mereka, aman pula dari terlalaikan melakukan ibadah kepada Allah karena mereka. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya istri-istri dan anak-anak kalian adalah musuh bagi kalian maka berhati-hatilah dari mereka”. (QS. At Taghabun: 14)
Di samping itu ia memandang dirinya mampu untuk menjaga kehormatan mereka dan melindungi mereka hingga mereka tidak ditimpa kerusakan, karena Allah tidak menyukai kerusakan. Ia mampu pula menafkahi mereka. Allah Ta’ala berfirman:
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Hendaklah mereka yang belum mampu untuk menikah menjaga kehormatan dirinya hingga Allah mencukupkan mereka dengan keutamaan dari-Nya” . (QS. An Nur:33)
(Dinukil dari “Fiqh Ta’addud Az Zawjaat”, hal. 5)
Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i pernah ditanya tentang hukum poligami, apakah sunnah? beliau menjawab: “Bukan sunnah, akan tetapi hukumnya jaiz (boleh)”.
• SEBUAH PETIKAN TENTANG KEADILAN SALAF
Ibnu Abi Syaibah Rahimahullah berkata dalam “Al Mushannaf” (4/387): Telah menceritakan kepada kami Abu Dawud Ath Thayalisi dari Harun bin Ibrahim is berkata: Aku mendengar Muhammad berkata terhadap seseorang yang memiliki dua istri: “Dibenci ia berwudlu hanya di rumah salah seorang istrinya sementara di rumah istri yang lain ia tidak pernah melakukannya”. (Atsar ini shahih)
Ibnu Abi Syaibah Rahimahullah berkata dalam “Al Mushannaf” (4/387): Telah menceritakan kepada kami Abu Dawud Ath Thayalisi dari Harun bin Ibrahim is berkata: Aku mendengar Muhammad berkata terhadap seseorang yang memiliki dua istri: “Dibenci ia berwudlu hanya di rumah salah seorang istrinya sementara di rumah istri yang lain ia tidak pernah melakukannya”. (Atsar ini shahih)
Selanjutnya beliau berkata: Telah menceritakan kepada kami Jarir dari Mughirah dari Abi Muasyir dari Ibrahim tentang seseorang yang mengumpulkan beberapa istri : “Mereka menyamakan di antara istri-istrinya sampaipun sisa gandum dan makanan yang tidak dapat lagi ditakar/ditimbang (karena sedikitnya) maka mereka tetap membaginya tangan pertangan”. (Atsar ini shahih dan Abu Muasyir adalah Ziyad bin Kulaib, seorang yang tsiqah)
- PERINGATAN
Di antara manusia ada yang tergesa-gesa dan bersegera melakukan poligami tanpa pertimbangan dan pemikiran, sehingga ia menghancurkan kebahagiaan keluarganya dan memutus ikatan tali (pernikahannya) dan menjadi seperti orang yang dikatakan oleh seorang A’rabi (dalam bait syairnya):
Aku menikahi dua wanita karena kebodohanku yang sangat
Dengan apa yang justru mendatangkan sengsara
Tadinya aku berkata, ku kan menjadi seekor domba jantan di antara keduanya
Merasakan kenikmatan di antara dua biri-biri betina pilihan
Namun kenyataannya, aku laksana seekor biri-biri betina yang berputar di pagi dan sore hari diantara dua serigala
Dengan apa yang justru mendatangkan sengsara
Tadinya aku berkata, ku kan menjadi seekor domba jantan di antara keduanya
Merasakan kenikmatan di antara dua biri-biri betina pilihan
Namun kenyataannya, aku laksana seekor biri-biri betina yang berputar di pagi dan sore hari diantara dua serigala
Membuat ridla istri yang satu ternyata mengobarkan amarah istri yang lain
Hingga aku tak pernah selamat dari satu diantara dua kemurkaan
Aku terperosok ke dalam kehidupan nan penuh kemudlaratan
Demikianlah mudlarat yang ditimbulkan di antara dua madu
Hingga aku tak pernah selamat dari satu diantara dua kemurkaan
Aku terperosok ke dalam kehidupan nan penuh kemudlaratan
Demikianlah mudlarat yang ditimbulkan di antara dua madu
Malam ini untuk istri yang satu, malam berikutnya untuk istri yang lain, selalu sarat dengan cercaan dalam dua malam
Maka bila engkau suka untuk tetap mulia dari kebaikan
yang memenuhi kedua tanganmu hiduplah membujang
namun bila kau tak mampu, cukup satu wanita, hingga mencukupimu dari beroleh kejelekan dua madu
Maka bila engkau suka untuk tetap mulia dari kebaikan
yang memenuhi kedua tanganmu hiduplah membujang
namun bila kau tak mampu, cukup satu wanita, hingga mencukupimu dari beroleh kejelekan dua madu
Bait syairnya yang dikatakan A’rabi ini tidak benar secara mutlak, tetapi barangsiapa yang takalluf (memberat-beratkan dirinya) melakukan poligami tanpa disertai kemampuan memberikan nafkah, pendidikan dan penjagaan yang baik, maka dimungkinkan akan menimpanya apa yang dikisahkan oleh A’rabi itu yaitu berupa kesulitan dan kepayahan.
Wallahu A’lam (sumber dari kitab : Al Intishar lihuhuqil Mu’minat. Karya : Ummu Salamah As Salafiyyah Hal. 154 -. Penerbit darul Atsar Yaman Cet. I Th. 2002. Telah diterjemahkan dengan judul buku : Persembahan untukmu Duhai Muslimah Cet. Pustaka Al Haura’ Yogyakarta)
Fatwa seputar Poligami
Penulis: Al-Lajnah Ad-Daimah lil Ifta
- PERTANYAAN : Apakah benar bahwa menikah lebih dari satu (poligami) tidak disyariatkan kecuali bagi orang yang di bawah tanggung jawabannya terdapat anak yatim dan ia khawatir tidak bisa berlaku adil …
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz ditanya:
Sebagian orang berkata bahwa menikahi lebih dari satu istri tidak disyariatkan kecuali bagi orang yang memegang tanggung jawab atas anak-anak yatim perempuan dengan berdalil firman Allah Ta’ala :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. ” (An-Nisaa’: 3)
Kami mengharap dari Fadhilatusy Syaikh penjelasan yang sebenarnya dari permasalahan tersebut.
JAWABAN :
Ini pendapat yang batil (salah).
Makna ayat yang mulia tersebut adalah, bila di bawah pemeliharaan salah seorang dari kalian terdapat seorang perempuan yatim, lalu ia khawatir jika menikahinya tidak bisa memberikan mahar yang sebanding, maka hendaknya ia mencari (wanita) yang lain. Karena sesungguhnya wanita itu banyak dan Allah tidak menjadikannya sempit (terbatas).
Makna ayat yang mulia tersebut adalah, bila di bawah pemeliharaan salah seorang dari kalian terdapat seorang perempuan yatim, lalu ia khawatir jika menikahinya tidak bisa memberikan mahar yang sebanding, maka hendaknya ia mencari (wanita) yang lain. Karena sesungguhnya wanita itu banyak dan Allah tidak menjadikannya sempit (terbatas).
Ayat tersebut menunjukkan disyariatkannya menikahi wanita dengan jumlah dua, tiga, atau empat karena hal tersebut lebih sempurna di dalam memelihara (bagi suami), baik terhadap syahwat maupun pandangan matanya.
Juga karena hal tersebut merupakan sebab memperbanyak keturunan, menjaga kehormatan wanita, berbuat baik kepada mereka, dan memberikan nafkah kepada mereka.
Juga karena hal tersebut merupakan sebab memperbanyak keturunan, menjaga kehormatan wanita, berbuat baik kepada mereka, dan memberikan nafkah kepada mereka.
Tidak diragukan lagi bahwa wanita yang memiliki hak setengah dari suami (karena suami memiliki dua istri), atau sepertiga atau seperempat (karena ada 3 atau 4 istri), itu lebih baik daripada wanita yang tidak memiliki suami. Akan tetapi dengan syarat harus ada keadilan dan kemampuan.
Bagi yang khawatir tidak bisa berbuat adil, maka mencukupkan diri dengan satu istri bersama dengan yang dimiliki berupa budak perempuan. Ini semua ditunjukkan dan ditegaskan dengan perbuatan Nabi dimana beliau ketika meninggal dunia masih memiliki 9 istri, sementara Allah Ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (Al-Ahzab: 21(
Namun beliau telah menjelaskan kepada umatnya bahwa tidak boleh bagi seorang pun dari umatnya dalam satu waktu memiliki lebih dari 4 istri.
Disimpulkan dari hal tersebut bahwa meniru Nabi di sini dengan cara menikahi empat istri atau kurang dari itu. Adapun lebih dari itu maka merupakan kekhususan bagi Nabi Shalallahu’alaihi wassallam.
(Lihat Fatawa Mar’ah 2/61. )
Disimpulkan dari hal tersebut bahwa meniru Nabi di sini dengan cara menikahi empat istri atau kurang dari itu. Adapun lebih dari itu maka merupakan kekhususan bagi Nabi Shalallahu’alaihi wassallam.
(Lihat Fatawa Mar’ah 2/61. )
PERTANYAAN : Apakah Surat An-Nisaa’ ayat 129 telah menghapus hukum Surat An-Nisaa’ ayat 3 (Tentang keharusan berbuat Adil) ?
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya:
Di dalam Al-Quran terdapat ayat tentang poligami yang menyebutkan: فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (An-Nisaa’: 3)
Juga firman Allah dalam ayat lain: وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. ” (An-Nisaa’: 129)
Pada ayat pertama disyaratkan untuk adil di dalam hal menikah lebih dari satu istri dan pada ayat kedua dijelaskan bahwa syarat untuk berbuat adil itu tidak akan mungkin dilakukan. Maka apakah ayat kedua itu menghapus hukum dari ayat pertama yang berarti tidaklah pernikahan itu melainkan hanya dengan satu istri karena syarat adil tidak mungkin bisa dilakukan?
Berilah kami pengetahuan, semoga Allah membalas anda dengan kebaikan.
JAWABAN :
Tidak ada pertentangan di dalam dua ayat tersebut dan tidak pula ada penghapusan hukum oleh salah satu dari kedua ayat tersebut terhadap yang lainnya.
Perbuatan adil yang diperintahkan adalah yang sesuai kemampuan, yaitu adil di dalam pembagian waktu bermalam dan pemberian nafkah.
Sedangkan adil dalam masalah cinta dan hal-hal yang berkaitan dengannya seperti perbuatan intim dan sejenisnya, maka hal ini tidak ada kemampuan. Permasalahan tersebut yang dimaksudkan dengan firman Allah Ta’ala : وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.” (An-Nisaa’: 129)
Oleh karena itu telah kuat riwayat hadits dari Nabi pada riwayat Aisyah Radhiyallahu’anha, ia berkata:
“Beliau biasa membagi hak diantara istri-istrinya lalu beliau berdoa: ‘Ya Allah, inilah usahaku membagi terhadap apa yang aku mampu, maka janganlah Engkau cela aku terhadap apa yang Engkau mampu sedangkan aku tidak mampu. ” (Riwayat Abu Dawud, At Tirmidzi, An-Nasal, dan Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan- AlHakim)
PERTANYAAN : Apakah disyaratkan adanya ridha istri pertama di dalam berpoligami ?
Al-Lajnah Ad-Daimah lil Ifta ditanya:
Tidak diragukan lagi bahwa Islam membolehkan adanya poligami, maka apakah diharuskan bagi suami untuk meminta keridhaan istri pertama sebelum menikahi istri kedua?
JAWABAN :
Tidak wajib bagi suami bila ingin menikah dengan istri kedua harus ada keridhaan istri pertama.
Akan tetapi termasuk dari akhlak yang baik dan pergaulan yang harmonis untuk menjadikan senang hati istri pertama dengan cara meringankan baginya hal-hal yang bisa menyakitkan, yang ini termasuk dari tabiat wanita dalam permasalahan poligami.
Caranya yaitu dengan wajah yang berseri-seri, ucapan yang manis, dan dengan hal-hal yang bisa memudahkan keadaan, seperti pemberian sejumlah barang untuk mendapatkan ridhanya. (Majalah Al Buhuts Al Islamiyyah 2/67)
Caranya yaitu dengan wajah yang berseri-seri, ucapan yang manis, dan dengan hal-hal yang bisa memudahkan keadaan, seperti pemberian sejumlah barang untuk mendapatkan ridhanya. (Majalah Al Buhuts Al Islamiyyah 2/67)
(Sumber : Fatwa-Fatwa Ulama Ahlus Sunnah seputar Pernikahan. Penerbit Qaulan Karima Purwakerta. Terjemah kitab : Fatawa Al Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah. Bab Nikah Wathalaq. Penterjemah : Abu Abdirrahman Muhammad bin Munir. Cet. I Okt. 2005)
POLIGAMI : Anugerah Yang Terdholimi
Oleh: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah
Agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah disempurnakan oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala- sebagai rahmat bagi seluruh hamba-Nya, sehingga agama ini tidak butuh tambahan, pengurangan dan otak-atik.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (QS. Al-Ma`idah: 3)
Di antara rahmat Allah -Ta’ala- kepada hamba hamba-Nya, disyari’atkannya “poligami”(seorang laki laki memiliki lebih dari satu istri) berdasarkan dalil-dalil yang akan datang.
Namun berbicara masalah poligami akan mengundang berbagai tanggapan. Ada yang menanggapinya secara posotif dan ini datangnya dari ulama’ dan kaum beriman. Tetapi, ada pula yang menanggapinya secara negatif, bahkan menentangnya dengan keras di antara segelintir orang dari kalangan orang-orang munafiq, dan orang-orang yang jahil dari kaum wanita dan laki-laki. Berbagai alasan dilontarkan intuk menolak poligami, entah dengan alasan kecemburuan, emosi, atau tidak siap dimadu, bahkan dengan alasan ketidakadilan.
Mungkin dengan dasar inilah, ada seorang penulis wanita (kami tidak sebutkan namanya) berusaha menentang, dan menzholimi “anugerah poligami” ini untuk membela kaum wanita -menurut sangkaannya-, padahal sebenarnya ia menzholimi kaum wanita. Maka dia pun menuangkan “pembelaannya” (baca: penzholimannya) tersebut dalam bentuk tulisan yang dimuat oleh koran “Kompas”, edisi 11 Desember 2006, dengan judul, “Wabah itu Bernama Poligami”. Sebuah judul yang memukau bagi orang-orang jahil, terlebih lagi orang-orang munafiq. Namun hal itu sangat berbahaya bagi keimanannya, dan mengerikan bagi kaum beriman. Betapa tidak, dia telah berani menyebut poligami sebagai “wabah”, dan telah lancang berani menyebut syari’at yang Allah -Ta’ala- sendiri yang menurunkan-Nya sebagai “wabah”. Dia telah menghina, menentang dan mengingkari anugerah yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Kalau wanita ini menganggap poligami adalah wabah, berarti dia telah menganggap bahwa Allah -Ta’ala-telah menurunkan wabah kepada para hamba-Nya,“Subhanallah wa -Ta’ala- ‘an qaulihim uluwwan kabiran !!!” Maha Suci, dan Maha Tinggi Allah atas apa yang mereka ucapkan.
Wanita untuk memuntahkan kebenciannya, dan penolakannya kepada syari’at poligami, maka ia pun tidak tanggung-tanggung membawakan hadits untuk menguatkan pendapatnya. Padahal hadits itu tidaklah menguatkan dirinya sedikitpun, bahkan menolak dengan kejahilannya: Wanita itu membawakan hadits, bahwa dilaporkan Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- marah ketika beliau mendengar putrinya Fatimah akan di poligami suaminya, Ali bin Abi Thalib. Beliau bergegas menuju mesjid, naik mimbar dan menyampaikan pidato, “Keluarga Bani Hasim bin Al-Mughiroh telah meminta izinku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali Bin Abi Thalib saya tidak mengizinkan sama sekali kecuali Ali menceraikan putri Saya terlebih dahulu”. Kemudian Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- melanjutkan, “Fatimah adalah bagian dari-ku. Apa yang memggamggu dia adalah menggangguku dan apa yang menyakiti dia adalah menyakitiku juga”. Akhirnya, Ali bin Abi Thalib tetap monogami hingga Fatimah wafat.
Setelah membaca hadits diatas, mungkin kita akan menganggukkan kepala dan membenarkan wanita tersebut. Namun Saking “pandainya” wanita ini, ia lupa riwayat lain dalam Shohih Muslim (2449), “Sesungguhnya aku tidak mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram. Tapi, demi Allah, tidak akan berkumpul putri Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan putri musuh Allah selamanya”. Artinya, Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tidak mengharamkan atas umatnya sesuatu yang halal, yaitu poligami. Selain itu, Syaikh Al-Adawiy dalam Fiqh Ta’addud Az-Zaujat (126) berkata, “Di antara kekhususan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, putrinya tidak boleh dimadu. Ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari (9/329)”.
Perlu diketahui bahwa para sahabat sepeninggal Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, bahkan Ali sendiri berpoligami setelah Fathimah wafat. Ali bin Rabi’ah berkata, “Dulu Ali memiliki dua istri”. [HR. Ahmad dalam Fadho'il Ash-Shohabah(no.889)]. Ini menunjukkan bahwa poligami tetap diamalkan oleh para sahabat sepeninggal Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, bukan bersifat kondisional !!
Lebih jauh lagi, Wanita itu mengomentari ayat berikut,
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa`: 3)
Wanita ini berkata, “Ayat tersebut turun setelah perang Uhud, dimana banyak sahabat wafat di medan perang. Ayat ini memungkinkan lelaki muslim mengawini janda, atau anak yatim, jika dia yakin inilah cara melindungi kepentingan mereka, dan hartanya dengan penuh keadilan. Jadi, ayat ini bersifat kondisional”.
Yang menjadi pembahasan kita dalam perkataannya adalah bahwa ayat ini bersifat kondisional, padahal seandainya ayat ini bersifat kondisional, justru ayat ini sangat memungkinkan untuk diamalkan pada zaman sekarang, karena melihat perbandingan jumlah wanita jauh lebih banyak dibandingkan jumlah laki-laki. Oleh karena itu, poligami di saat sekarang ini mestinya lebih disemarakkan! Selain itu, para ulama membuat kaedah, “Barometer dalam menafsirkan ayat dilihat pada keumuman lafazhnya, bukan pada kekhususan sebab turunnya ayat tertentu”. Jadi, dilihat cakupan dan keumuman ayat di atas dan lainnya, maka mencakup semua lelaki yang memiliki kemampuan lahiriah.
Kemudian, dia pun mengomentari firman Allah berikut -layaknya sebagai ahli tafsir, padahal ia bukan termasuk darinya-,
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian,karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. An-Nisa`: 129)
Wanita ini berkata dengan congkak, “Ayat ini dapat disimpulkan, Islam pada dasarnya agama monogami”. Pembaca -semoga dirahmati Allah- beginilah apabila menafsirkan ayat dengan penafsiran sendiri, tanpa mau melihat bagaimana para ulama tafsir ketika menafsirkan ayat-ayat Allah. Ayat ini justru menunjukan disyari’atkannya poligami. Dengarkan para ahli tafsir ketika mereka menafsirkan ayat di atas (QS. An-Nisa`: 129)
Ath-Thabariy -rahimahullah- berkata, “Kalian, wahai kaum lelaki, tak akan mampu menyamakan istri-istrimu dalam hal cinta di dalam hatimu sampai kalian berbuat adil di antara mereka dalam hal itu. Maka tidak di hati kalian rasa cinta kepada sebagiannya, kecuali ada sesuatu yang sama dengan madunya, karena hal itu kalian tidak mampu melakukannya, dan urusannya bukan kepada kalian”. [Lihat Jami' Al-Bayan (9/284)]
Syaikh Muhammad bin Nashir As-Sa’diy-rahimahullah- dalam menafsirkan ayat di atas (QS. An-Nisa`: 129), “Allah -Ta’ala- mengabarkan bahwa suami tidak akan mampu. Bukanlah kesanggupan mereka berbuat adil secara sempurna di antara para istri, sebab keadilan mengharuskan adanya kecintaan, motivasi, dan kecenderungan yang sama dalam hati kepada para istri, kemudian demikian pula melakukan konsekuensi hal tersebut. Ini adalah perkara yang susah dan tidak mungkin. Oleh karena itu, Allah -Ta’ala- memaafkan perkara yang tidak sangup untuk dilakukan. Kemudian, Allah -Ta’ala- melarang sesuatu yang mungkin terjadi (yaitu, terlalu condong kepada istri yang lain, tanpa menunaikan hak-hak mereka yang wajib-pent),
فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ
“Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung”. (QS. An-Nisa`: 129)
Maksudnya, janganlah engkau terlalu condong (kepada istri yang lain) sehingga engkau tidak menunaikan hak-haknya yang wajib, bahkan kerjakanlah sesuatu yang berada pada batas kemampauan kalian berupa keadilan. Maka memberi nafkah, pakaian, pembagian dan semisalnya, wajib bagi kalian untuk berbuat adil di antara istri-istri dalam hal tersebut,lain halnya dengan masalah kecintaan, jimak (bersetubuh), dan semisalnya, karena seorang istri, apabila suaminya meninggalkan sesuatu yang wajib (diberikan) kepada sang istri, maka jadilah sang istri dalam kondisi terkatung-katung bagaikan wanita yang tidak memiliki suami, lantaran itu sang istri bisa luwes dan bersiap untuk menikah lagi serta tidak lagi memiliki suami yang menunaikan hak-haknya”. [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal. 207)]
Lebih gamblang, seorang mufassir ulung, Syaikh Asy-Syinqithiy -rahimahullah- berkata dalam Adhwa’ Al-Bayan (1/375) ketika menafsirkan ayat di atas, “Keadilan ini yang disebutkan oleh Allah disini bahwa ia tak mampu dilakukan adalahkeadilan dalan cinta, dan kecenderungan secara tabi’at, karena hal itu bukan di bawah kemampaun manusia. Lain halnya dengan keadilan dalam hak-hak yang syar’iy, maka sesuangguhnya itu mampu dilakukan”.
Jadi, dari komentar para ahli tafsir tadi, tidak ada di antara mereka yang berdalil dengan ayat itu untuk menolak poligami. Lantas kenapa wanita ini tak mau menoleh ucapan para ulama’ tafsir? Jawabnya, karena tafsiran mereka tidak tunduk kepada hawa nafsu wanita ini.
Adapun dalil dalil yang menunjukan disyariatkannya poligami antara lain, maka telah berlalu dalam (QS. An-Nisa`: 3).
Di antara dalil poligami, Seorang tabi’in, Sa’id bin Jubair, “Ibnu Abbbas berkata kepadaku: “Apakah engkau telah menikah ?” Aku menjawab ” Belum”. Ibnu Abbas berkata, “Maka menikahlah, karena sebaik baik manusia pada umat ini adalah orang yang paling banyak istrinya”. [HR. Al-Bukhariydalam Shohih-nya).
Satu lagi dalil poligami -namun sebenarnya masih banyak-, Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu- berkata, "Termasuk sunnah jika seorang laki laki menikahi perawan setellah istri sebelumnya janda maka sang suami pun tinggal di rumah istri yang perawan ini selama tujuh hari maka sang suami tinggal dirumah istri yang janda selama tiga hari kemudian dia bagi". [HR Bukhariy dalam Ash-Shohih]
Seorang ulama’ Syafi’iyyah, Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- dalam Fatul Bari(9/10) berkata, “Dalam hadits ini, ada anjuran untuk menikah dan meninggalkan hidup membujang”.
Setelah kita mengetahui dalil-dalil yang menunjukan disyari’atkannya seorang muslim, laki-laki maupun wanita melakukan poligami. Jadi, kami nasihatkan kepada diri kami dan para suami dan calon suami untuk menikah hingga empat orang istri,jika dia sanggupuntuk berbuat adil dalam perkara lahirah, seperti, pembagian malam, dan nafkah. Adapun adil dalam perkara batin (seperti, cinta, kesenangan jimak, perasaan bahagia bersama dengan salah satu diantara mereka), maka ini bukan merupakan syarat berdasarkan hadits-hadits dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama.
Terakhir, Kami nasihatkan kepada para wanita agar bersiap untuk dimadu dan berlapang dada untuk menerima anugerah poligami ini, serta tidak menentang syari’at poligami, karena ini adalah kekufuran. Samahatusy Syaikh Abdul Azizi bin Baz-rahimahullah-berkata, “Barangsiapa yang membenci sedikitpun dari sesuatu yang dibawa Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, meskipun dia mengamalkannya, maka sungguh dia telah kafir. Allah -Ta’ala- berfirman,
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al Qur’an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka”. (QS. Muhammad: 9) [Lihat Nawaqid Al-Islam]
Sumber: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 07 Tahun I. Penerbit: Pustaka Ibnu Abbas. Alamat: Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP: 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab: Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi: Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh: Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout: Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan hubungi alamat di atas. (infaq Rp. 200,-/exp)
(Sumber: http://almakassari.com/?p=44, judul asli: Anugerah yang Terzholimi)