Pemanfaatan Kulit Hewan
Telah dimaklumi bahwa syariat Islam melarang memakan bangkai dan menjualnya. Lalu, bagaimana dengan memanfaatkan kulitnya?
Hukum kenajisan kulit bangkai mengikuti hukum bangkainya. Apabila bangkai hewan tersebut suci maka kulitnya pun suci, dan bila bangkai hewannya najis maka kulitnya pun najis. Kulit bangkai hewan yang dihukumi suci dapat digunakan dan dimanfaatkan serta dimakan. Sebagai contoh, bangkai ikan, kulitnya halal dimakan dan suci.
Hukum Menyamak Kulit Bangkai
Para ulama berselisih pendapat tentang dapatkah kulit bangkai disucikan dengan cara disamak. Perselisihan ini terbagi dalam tujuh pendapat.
Pendapat Pertama
Pendapat Pertama
Mereka menyatakan bahwa semua kulit bangkai dapat disucikan dengan disamak, kecuali anjing dan babi serta hewan yang dilahirkan dari salah satu dari keduanya. Suci dengan disamak bagian luar dan dalamnya, dan dapat dipergunakan pada benda yang kering dan basah (cair), serta tidak ada perbedaan antara hewan yang dibolehkan dimakan dagingnya dengan yang dilarang. Ini adalah pendapat Mazhab Syafi’i dan diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas’ud [1]
Ibnu Hajar menyatakan, “Al-Imam asy-Syafi’i mengecualikan anjing dan babi serta yang lahir dari peranakan keduanya, karena keduanya -menurut beliau- adalah najis a’iniyah.” [2]
Mereka mendasari pendapat ini dengan beberapa dalil, di antaranya:
1. Hadits Ibnu Abbas, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِشَاةٍ مَيِّتَةٍ فَقَالَ هَلَّا اسْتَمْتَعْتُمْ بِإِهَابِهَا قَالُوا إِنَّهَا مَيِّتَةٌ قَالَ إِنَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati seekor bangkai kambing, lalu beliau berkata, ‘Mengapa kalian tidak memanfaatkan kulitnya?’ Mereka menjawab, ‘Itu ‘kan bangkai.’ Beliau menyatakan, ‘Yang diharamkan hanya memakannya.’” (Hr. al-Bukhari, Kitab al-Buyu’, Bab Julud al-Maitah Qabla ad-Dibagh, no. 2221)
Dalam riwayat Imam Muslim terdapat tambahan redaksional,
أَلاَ أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا فَدَبَغْتُمُوهُ فَانْتَفَعْتُمْ بِهِ
“Mengapa kalian tidak mengambilnya, lalu kalian sak dan kalian manfaatkan?” (Hr. Muslim, Kitab al-Haidh, Bab Thaharatul Jild al-Maitah bi Dibagh, no. 808)
2. Hadits yang berbunyi,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
Dari Abdullah bin Abbas, beliau berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apabila kulit bangkai telah disamak, maka dia telah suci.’” (Hr. Muslim, Kitab al-Haidh, Bab Thaharatul Jild al-Maitah bi Dibagh, no. 810)
3. Hadits Salamah bin al-Mahiq, yang berbunyi,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ أَتَى عَلَى بَيْتٍ فَإِذَا قِرْبَةٌ مُعَلَّقَةٌ فَسَأَلَ الْمَاءَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهَا مَيْتَةٌ فَقَالَ دِبَاغُهَا طُهُورُهَا
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Perang Tabuk mendatangi satu rumah yang ternyata di dalamnya terdapat kantung air yang tergantung, lalu beliau meminta air, lalu mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya itu adalah bangkai.’ Maka beliau menjawab, ‘Penyamakannya adalah penyuciannya.’” (Hr. Abu Daud dalam Sunannya, Kitab al-Libas, Bab fi Ihab al-Maitah, no. 4125; dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud dan Shahih Sunan an-Nasa’I, no. 4243 dan 3957)
Bahkan, Syekh al-Albani menyatakan, “Telah ada lima belas hadits tentang penyamakan kulit bangkai (الدباغ) yang telah disebutkan asy-Syaukani dalam Nail al-Authar: 1/54. [3] Sebagiannya tercantum dalam ash-Shahihain, dan riwayat tersebut sudah ditakhrij dalam kitab Ghayah al-Maram (25–29). [4]
4. Anjing dan babi dikecualikan darinya, karena keduanya adalah najis ‘ainiyah. [5] Imam Syafi’i berdalil tentang pengecualian babi dengan firman Allah,
أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
“… Atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor (najis)….” (Qs. al-An’am: 145)
Beliau menjadikan kata ganti pada kata “فَإِنَّهُ” kembali kepada mudhaf ilaih kata “خِنزِيرٍ”, kemudian beliau menganalogikan anjing dengan babi karena keduanya sama-sama najis, juga karena babi tidak memiliki kulit. [6]
Pengecualian anjing dan babi ini dibantah oleh asy-Syaukani dalam pernyataan beliau, “Pendalilan asy-Syafi’i dengan ayat di atas, untuk pengecualian babi dan analogi anjing kepada babi, adalah pendalilan yang tidak sempurna, kecuali setelah dipastikan benar bahwa pengembalian kata ganti tersebut adalah kepada mudhaf ilaih, bukan kepada mudhaf (yaitu, kata لَحْم , pen). Ini adalah masalah yang masih diperselisihkan, dan paling tidak, masih ada kemungkinan bahwa yang rajih adalah kata ganti tersebut kembali kepada mudhaf.
Sesuatu yang belum pasti, tidak bisa dijadikan hujjah (argumentasi) atas orang yang menyelisihinya. Demikian juga, masih boleh dikatakan bahwa babi itu najis, walaupun kenajisan itu mencakup seluruhnya, baik daging, rambut, kulit, dan tulangnya, dan itu dikhususkan dengan hadits-hadits tentang penyamakan kulit (ash-Dhibagh).” [7]
Imam al-Baihaqi merajihkan pendapat ini, dan beliau menyampaikan dalil penguat Mazhab Syafi’i tentang pengecualian anjing dalam hal ini, dengan dalil-dalil berikut: [8]
1. Hadits Rafi’ bin Khadij dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
شَرُّ الْكَسْبِ مَهْرُ الْبَغِيِّ وَثَمَنُ الْكَلْبِ وَكَسْبُ الْحَجَّامِ
“Penghasilan terburuk adalah mahar pezina, hasil penjualan anjing, dan penghasilan tukang bekam.” (Hr. Muslim dalam Shahihnya, Kitab al-Musaqah, Bab Tahrim Tsaman al-Kalbu, no. 1568)
Al-Baihaqi menyatakan, “Menyamak kulit anjing, menjualnya, dan mengambil hasil penjualannya adalah usahanya untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakannya sebagai penghasilan terburuk.”
2. Hadits Usamah bin Umair, yang berbunyi,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ جُلُودِ السِّبَاعِ
“Sungguh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang perihal kulit binatang buas.” (Hr. an-Nasa’i dan al-Baihaqi; sanadnya dinilai shahih oleh Syekh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, no. 1011)
Imam al-Baihaqi menyatakan, “Mungkin mereka berdalil dengan keumuman hadits,
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ
“Semua kulit bangkai yang disamak itu telah suci.” (Hr. Muslim dalam Shahihnya [9], dari hadits Ibnu Abas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Matan hadits ini dipahami untuk selain kulit anjing, dengan dalil hadits Rafi’ dan selainnya, karena ini (bahwa anjing dan seluruh bagian tubuhnya itu najis, ed) berlaku khusus, sedangkan itu (bahwa semua kulit bangkau yang disamak itu telah suci, ed) berlaku umum. (Juga terdapat kaidah bahwa) yang khusus mengalahkan yang umum. [10]
Demikian juga Syekh Masyhur Hasan Salman merajihkan pendapat al-Baihaqi. [11]
Pendapat Kedua
Menyatakan bahwa kulit bangkai tidak dapat disucikan dengan disamak. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab, Abdullah bin Umar, Aisyah, dan riwayat yang termasyhur dari Ahmad dan salah satu riwayat dari Malik. [12] Bahkan, inilah yang dijadikan pendapat Mazhab Ahmad bin Hambal. [13]
Mereka berdalil dengan hadits Abdullah bin ‘Ukaim, yang berbunyi,
لاَ تَنْتَفِعُوْا مِنَ الْمَيِّتَةِ بِإِهَابٍ وَ لاَ عَصَبٍ
“Janganlah memanfaatkan bagian bangkai, baik kulit ataupun persendiannya.” (Hr. Ahmad dalam Musnadnya: 4/310, Abu Daud no. 4128, at-Tirmidzi no. 1729; dinilai shahih oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil no. 38 dan Silsilah ash-Shahihah no. 2812)
Syekh Al Albani menukil pernyataan Shalih, anak Imam Ahmad, dari kitab Masa’il (hlm. 160), “Ayahku berkata, ‘Allah telah mengharamkan bangkai, lalu kulitnya adalah bagian dari bangkai. Aku memegang hadits Ibnu ‘Ukaim, yang mudah-mudahan shahih (yang berbunyi),
لاَ تَنْتَفِعُوْا مِنَ الْمَيِّتَةِ بِإِهَابٍ وَ لاَ عَصَبٍ
‘Janganlah memanfaatkan bagian bangkai, baik kulit ataupun persendiannya.’”
Imam Ahmad menyatakan, “Aku tidak memiliki satu hadits shahih pun dalam masalah penyamakan kulit, dan hadits Ibnu ‘Akim lah yang paling shahih.” [14]
Pendapat ini pun menyatakan bahwa bangkai adalah najis ‘ainiyah yang tidak mungkin disucikan, seperti kotoran keledai yang seandainya dicuci dengan air selaut pun tentu tidak akan suci.
Syekh Ibnu Utsaimin menjawab bahwa ini adalah qiyas (analogi) yang menentang nash, yaitu hadits Maimunah. [15]
Akan tetapi, mereka menjawab bahwa hadits Maimunah tersebut telah dinasakh (dihapus hukumnya) oleh hadits Abdullah bin ‘Ukaim.
Ini pun dijawab oleh Syekh Ibnu Utsaimin dengan beberapa jawaban:
- Hadits ini lemah [16], sehingga tidak dapat menghadapi hadits yang shahih.
- Hadits ini tidak dapat dijadikan penghapus hukum (nasikh), karena kita tidak mengetahui apakah peristiwa kambing dalam hadits Maimunah terjadi sebulan sebelum beliau meninggal atau beberapa hari? Padahal, di antara syarat nasakh adalah waktu peristiwanya jelas diketahui.
- Seandainya dapat dipastikan bahwa hadits ini terjadi lebih akhir, maka ini pun tidak menentang hadits Maimunah, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَنْتَفِعُوْا مِنَ الْمَيِّتَةِ بِإِهَابٍ وَ لاَ عَصَبٍ
“Janganlah memanfaatkan bagian bangkai, baik kulit ataupun persendiannya.”
Dapat dipahami bahwa kata ” إِهَابٍ” adalah kulit bangkai sebelum disamak. Sengan demikian, dapat terjadi kompromi antara hadits tersebut dengan hadits Maimunah. [17]
Adapun Syekh al-Albani, beliau menyatakan, “Yang paling benar adalah pendapat yang menyatakan bahwa pengertian ” إِهَابٍ” adalah kulit bangkai yang belum disamak.” [18]
Pendapat Ketiga
Menyatakan bahwa yang dapat disucikan dengan disamak hanya kulit bangkai hewan yang diperbolehkan dimakan dagingnya. Ini adalah Mazhab al-Auza’i, Ibnu al-Mubarak, Abu Tsaur, dan Ishaq bin Rahuyah.” [19]
Mereka bersandar kepada kekhususan sebab (disampaikannya hadits) tersebut, sehingga mereka membatasi kebolehan hanya kepada hewan yang boleh dimakan dagingnya. Alasannya, adanya penyebutan bangkai kambing (dalam hadits), dan ini dikuatkan dengan pandangan bahwa penyamakan tidak menambah kesucian melebihi penyembelihan. Selain itu, seandainya hewan yang dilarang untuk dimakan dagingnya disembelih pun, dia tidak akan suci dengan sembelihan tersebut, menurut mayoritas ulama, maka demikian juga penyamakan. [20]
Hal ini dibantah oleh asy-Syaukani, dengan menyatakan bahwa keumuman hadits-hadits penyamakan tidak dapat dibatasi hanya pada sebabnya, sehingga bersandar kepada sebab wurud hadits yang berupa kambing Maimunah merupakan suatu sikap yang tidak benar.” [21]
Ishaq bin Rahuyah menyatakan, “Pengertian sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ“ adalah hewan yang dimakan dagingnya, demikianlah ditafsirkan oleh an-Nadhar bin Syumail.” Ishaq menyatakan bahwa an-Nadhar bin Syumail menyatakan, “Dikatakan إِهَاب untuk kulit hewan yang dimakan dagingnya.” [22]
Tentang penukilan dari an-Nadhar bin Syumail, hal itu dibantah oleh asy-Syaukani, dengan pernyataan beliau, “Ini menyelisihi pernyataan yang disampaikan Abu Daud dalam Sunannya, bahwa an-Nadhar menyatakan, ‘Yang dinamakan ‘ihab’ (إِهَاب) adalah yang belum disamak. Apabila telah disamak, maka namanya adalah ‘syanan’ dan ‘qirbah’.’” [23]
Pendapat inilah yang dirajihkan oleh Syekh Muhammad bin Utsaimin dalam pernyataan beliau, “Yang rajih adalah pendapat ketiga, dengan dasar sebagian lafal hadits yang berbunyi ‘دِبَاغُهَا ذَكَاتُهَا‘ diungkapkan dengan penyembelihan (ذكاة).
Sudah dimaklumi bahwa penyembelihan hanya menyucikan hewan yang diperbolehkan dimakan dagingnya. Sehingga, seandainya kamu menyembelih seekor keledai dengan menyebut nama Allah dan menumpahkan darahnya, maka hal itu tidak dinamakan penyembelihan (syar’i).
Dengan dasar ini, kami berpendapat bahwa kulit bangkai hewan yang dilarang untuk dimakan dagingnya, walaupun ia suci di masa hidupnya, dia tetap tidak dapat disucikan dengan disamak. Alasannya, hewan-hewan yang suci di masa hidupnya tersebut dijadikan suci karena sulit menghindarinya, dengan dasar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا مِنْ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ
‘Sesungguhnya ia dari yang mengelilingi kalian.’
Illat (sebab hukum) ini hilang dengan kematian, sehingga hukumnya kembali kepada asalnya, yaitu najis, sehingga kulitnya tidak dapat disamak. Oleh karena itu, pendapat yang rajih adalah bahwa semua kulit bangkai hewan yang dibolehkan untuk dimakan dagingnya dapat disucikan dengan cara disamak. Ini adalah salah satu pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyah.” [24]
Pendapat Keempat
Pendapat Keempat
Menyatakan bahwa semua kulit bangkai dapat disucikan dengan cara disamak, kecuali babi. Ini adalah mazhab Abu Hanifah. [25]
Mereka berhujjah dengan dalil-dalil pendapat pertama, tanpa menganalogikan anjing dengan babi. Namun, Imam Nawawi menyatakan, “Kami dan kalian sepakat mengeluarkan babi dari keumuman (hadits-hadits penyamakan), dan anjing sama dengannya juga.” [26]
Pendapat Kelima
Menyatakan bahwa semua kulit bangkai dapat disucikan dengan cara disamak, namun hanya bagian luarnya, dan tidak bagian dalamnya. Dengan demikian, tidak dapat digunakan untuk benda cair. Ini adalah mazhab Malik yang masyhur. [27]
Mereka menyatakan bahwa penyamakan hanya berpengaruh pada bagian luar saja. Akan tetapi, hal ini dibantah dengan keumuman hadits-hadits penyamakan kulit bangkai yang mencakup bagian luar dan dalamnya. Oleh karena itu, Ibnu Hajar menyatakan, “Dan demikian juga, (telah kelirulah) orang yang memahami larangan tersebut untuk bagian dalam dan dapat disucikan bagian luarnya.” [28]
Pendapat Keenam
Menyatakan bahwa semua kulit bangkai dapat disucikan dengan disamak, tanpa pengecualian. Ini adalah pendapat Mazhab Zahiriyah dan Abu Yusuf. [29]
Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa penyamakan dapat menyucikan kulit bangkai. Mereka menyatakan bahwa hadits-hadits tersebut bersifat umum, mencakup seluruh binatang. Inilah pendapat yang dirajihkan oleh asy-Syaukani. Beliau menyatakan bahwa pendapat inilah yang rajah, karena hadits-hadits tentang penyucian kulit bangkai dengan disamak tidak membedakan antara anjing dan babi dengan selainnya.
Pendapat Ketujuh
Menyatakan tentang diperbolehkannya memanfaatkan kulit bangkai walaupun tidak disamak terlebih dahulu. Ini adalah pendapat az-Zuhri. Beliau mengambil kemutlakan bolehnya memanfaatkan kulit bangkai, baik yang telah disamak ataupun belum, dari hadits Ibnu Abbas yang tidak menyebutkan adanya perintah penyamakan.
Pendapat ini dibantah dengan adanya hadits yang menjelaskan penyamakan, seperti hadits Maimunah, Aisyah, dan Salamah bin al-Mahiq, serta yang lainnya. Oleh karena itu, asy-Syaukani menyatakan, “Tampaknya, belum sampai riwayat lain dan hadits-hadits yang lainnya kepada az-Zuhri.” [31]
Wallahu A’lam.
Hukum Memakan Kulit Bangkai yang Telah Disamak
Kulit bangkai yang telah disamak hukumnya suci, namun terlarang untuk dimakan, dengan dasar hadits Ibnu Abbas yang berbunyi,
مَاتَتْ شَاةٌ لِسَوْدَةَ بِنْتِ زَمْعَةَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَاتَتْ فُلَانَةُ يَعْنِي الشَّاةَ فَقَالَ فَلَوْلَا أَخَذْتُمْ مَسْكَهَا فَقَالَتْ نَأْخُذُ مَسْكَ شَاةٍ قَدْ مَاتَتْ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ قُلْ لَا أَجِدُ فِيمَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ
فَإِنَّكُمْ لَا تَطْعَمُونَهُ إِنْ تَدْبُغُوهُ فَتَنْتَفِعُوا بِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهَا فَسَلَخَتْ مَسْكَهَا فَدَبَغَتْهُ فَأَخَذَتْ مِنْهُ قِرْبَةً حَتَّى تَخَرَّقَتْ عِنْدَهَا
فَإِنَّكُمْ لَا تَطْعَمُونَهُ إِنْ تَدْبُغُوهُ فَتَنْتَفِعُوا بِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهَا فَسَلَخَتْ مَسْكَهَا فَدَبَغَتْهُ فَأَخَذَتْ مِنْهُ قِرْبَةً حَتَّى تَخَرَّقَتْ عِنْدَهَا
“Kambing Saudah binti Zam’ah mati, lalu ia berkata, ‘Wahai Rasulullah!, Fulanah (yaitu, kambing Saudah) telah mati.’ Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Mengapa kalian tidak mengambil kulitnya?’ Ia menjawab, ‘Apakah kami boleh mengambil kulit kambing yang telah mati (menjadi bangkai)?’ Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, ‘Allah telah berfirman,
Katakanlah, ‘Tiadalah kuperoleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, darah yang mengalir, atau daging babi.’ (Qs. al-An’am: 145)
Sungguh, kalian tidak memakannya apabila disamak, namun kalian dapat memanfaatkannya.’ Maka ia (Saudah) menyuruh orang mengambilnya dan menguliti kulitnya, lalu ia samak dan membuat kantung air (qirbah) darinya, berada padanya hingga robek.” (Hr. Ahmad, dan sanadnya dinyatakan shahih oleh Majduddin Ibnu Taimiyah dalam al-Muntaqa al-Akhbar) [32]
Asy-Syaukani menyatakan, “Hadits ini menunjukkan larangan memakan kulit bangkai dan penyamakan walaupun menyucikannya namun tidak menghalalkan untuk memakan bangkai tersebut. Di antara dalil yang menunjukkan larangan memakannya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Abbas,
إِنَّمَا حَرُمَ مِنَ الْمَيْتَةِ أَكْلُهَا
‘Yang diharamkan dari bangkai adalah memakannya.’
Ini termasuk permasalahan yang tidak aku ketahui bahwa ada perselisihan di dalamnya.” [33]
Demikianlah, selintas permasalah tentang pemanfaatan kulit bangkai menurut pendapat para ulama. Mudah-mudahan bermanfaat. Wabillahi at-taufiq.
Referensi:
1. Nailul Authar bi Syarhi al-Muntaqa lil Akhbar, Muhammad bin Ali asy-Syaukani, tahqiq Muhammad Salim Hasyim, cetakan pertama, tahun 1415 H, Darul Kutub al-’Ilmiyah, Beirut.
2. Fathul Bari Syarah Shahih al-Bukhari, Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Maktabah as-Salafiyah, tanpa cetakan dan tahun.
3. Syarhul Mumti’ ‘ala Zad al-Mustaqni’, Syekh Ibnu Utsaimin, tahqiq Dr. Khalid al-Musyaiqih dan Sulaimin Abu Khail, cetakan kedua, tahun 1414 H, Muassasatu Asam.
4. Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah wa Syai’un min Fiqhiha wa Fawaidiha, Syekh al-Albani, cetakan pertama, tahun 1417 H, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, KSA.
5. Al-Khilafiyat, Abu Bakar al-Baihaqi, tahqiq Masyhur Hasan Salman, cetakan pertama, tahun 1414 H, Dar ash-Shumai’i, KSA.
6. Tuhfat al-Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at-Tirmidzi, Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri, cetakan pertama, tahun 1419 H, Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi, Beirut.
7. Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim Ibnu al-Hajaj, Imam an-Nawawi, asy-Syekh Khalil Ma’mun Syiha, cetakan ketiga, tahun 1417 H, Dar al-Ma’rifah.
8. Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab, Imam Nawawi, dengan penyempurnaan Muhammad Najib al-Muthi’i, cetakan tahun 1419 H, Dar Ihya at-Turats al-Arabi, Beirut.
2. Fathul Bari Syarah Shahih al-Bukhari, Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Maktabah as-Salafiyah, tanpa cetakan dan tahun.
3. Syarhul Mumti’ ‘ala Zad al-Mustaqni’, Syekh Ibnu Utsaimin, tahqiq Dr. Khalid al-Musyaiqih dan Sulaimin Abu Khail, cetakan kedua, tahun 1414 H, Muassasatu Asam.
4. Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah wa Syai’un min Fiqhiha wa Fawaidiha, Syekh al-Albani, cetakan pertama, tahun 1417 H, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, KSA.
5. Al-Khilafiyat, Abu Bakar al-Baihaqi, tahqiq Masyhur Hasan Salman, cetakan pertama, tahun 1414 H, Dar ash-Shumai’i, KSA.
6. Tuhfat al-Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at-Tirmidzi, Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri, cetakan pertama, tahun 1419 H, Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi, Beirut.
7. Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim Ibnu al-Hajaj, Imam an-Nawawi, asy-Syekh Khalil Ma’mun Syiha, cetakan ketiga, tahun 1417 H, Dar al-Ma’rifah.
8. Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab, Imam Nawawi, dengan penyempurnaan Muhammad Najib al-Muthi’i, cetakan tahun 1419 H, Dar Ihya at-Turats al-Arabi, Beirut.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi.
Artikel: EkonomiSyariat.Com
===
Catatan kaki:
[1] Lihat: Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim Ibnu al-Hajaj, Imam an-Nawawi, asy-Syekh Khalil Ma’mun Syiha, cetakan ketiga, tahun 1417 H, Dar al-Ma’rifah, 4/276; Nailul Authar bi Syarhi al-Muntaqa lil Akhbar, Muhammad bin Ali asy-Syaukani, tahqiq Muhammad Salim Hasyim, cetakan pertama, tahun 1415 H, Darul Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, 1/72.
[2] Fathul Bari: 9/658.
[3] Dalam kitab yang dirujuk penulis, yaitu 1/72. Hal ini terjadi karena perbedaan cetakan.
[4] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah wa Syai’un min Fiqhiha wa Fawaidiha, Syekh al-Albani, cetakan pertama, tahun 1417 H, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, KSA, 6/742; ketika berbicara tentang hadits no. 2812.
[5] Nailul Authar: 1/72.
[6] Ibid.
[7] Ibid: 1/73.
[8] Diringkas dari kitab al-Khilafiyaat, Abu Bakar al-Baihaqi, tahqiq Masyhur Hasan Salman, cetakan pertama, tahun 1414 H, Dar ash-Shumai’i, KSA, 1/223-245.
[9] Lafal pada riwayat Muslim: إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
[10]Al-Khilafiyat: 1/243.
[11]Lihat: komentar beliau atas kitab al-Khilafiyaat: 1/246.
[12]Lihat: Syarah Shahih Muslim: 4/276.
[13]Lihat: Syarhul Mumti’: 1/70.
[14]Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 6/742; ketika berbicara tentang hadits no. 2812.
[15]Lihat: Syarhul Mumti’: 1/70.
[16]Namun hadits ini dinilai shahih oleh Ahmad bin Hambal dan Syekh al-Albani.
[17]Syarhul Mumti’: 1/71—72.
[18]Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 6/742.
[19]Lihat: Syarah Shahih Muslim: 4/276 .
[20]Fathul Bari: 9/659.
[21]Nailul Authar: 1/73.
[22]Disampaikan at-Tirmidzi dalam Sunannya, pada Kitab Libas, Bab Ma Ja’a fi Julud al-Maitah Idza Dubighat; lihat: Tuhfat al-Ahwadzi: 5/401.
[23]Lihat: Tuhfah al-Ahwadzi: 5/401.
[24]Syarhul Mumti’: 1/75.
[25]Lihat: Syarhu Shahih Muslim: 4/276, dan al-Majmu’: 1/275.
[26]Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab, an-Nawawi, 1/275.
[27]Lihat: Syarhu Shahih Muslim: 4/276, dan al-Majmu’: 1/275.
[28]Fathul Bari: 9/659.
[29]Lihat: Syarhu Shahih Muslim: 4/276, dan al-Majmu’: 1/275.
[30]Nailul Authar: 1/73.
[31]Nailul Authar: 1/74.
[32]Lihat: Nailul Authar: 1/75.
[33]Nailul Authar: 1/75.
Artikel: EkonomiSyariat.Com
===
Catatan kaki:
[1] Lihat: Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim Ibnu al-Hajaj, Imam an-Nawawi, asy-Syekh Khalil Ma’mun Syiha, cetakan ketiga, tahun 1417 H, Dar al-Ma’rifah, 4/276; Nailul Authar bi Syarhi al-Muntaqa lil Akhbar, Muhammad bin Ali asy-Syaukani, tahqiq Muhammad Salim Hasyim, cetakan pertama, tahun 1415 H, Darul Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, 1/72.
[2] Fathul Bari: 9/658.
[3] Dalam kitab yang dirujuk penulis, yaitu 1/72. Hal ini terjadi karena perbedaan cetakan.
[4] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah wa Syai’un min Fiqhiha wa Fawaidiha, Syekh al-Albani, cetakan pertama, tahun 1417 H, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, KSA, 6/742; ketika berbicara tentang hadits no. 2812.
[5] Nailul Authar: 1/72.
[6] Ibid.
[7] Ibid: 1/73.
[8] Diringkas dari kitab al-Khilafiyaat, Abu Bakar al-Baihaqi, tahqiq Masyhur Hasan Salman, cetakan pertama, tahun 1414 H, Dar ash-Shumai’i, KSA, 1/223-245.
[9] Lafal pada riwayat Muslim: إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
[10]Al-Khilafiyat: 1/243.
[11]Lihat: komentar beliau atas kitab al-Khilafiyaat: 1/246.
[12]Lihat: Syarah Shahih Muslim: 4/276.
[13]Lihat: Syarhul Mumti’: 1/70.
[14]Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 6/742; ketika berbicara tentang hadits no. 2812.
[15]Lihat: Syarhul Mumti’: 1/70.
[16]Namun hadits ini dinilai shahih oleh Ahmad bin Hambal dan Syekh al-Albani.
[17]Syarhul Mumti’: 1/71—72.
[18]Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 6/742.
[19]Lihat: Syarah Shahih Muslim: 4/276 .
[20]Fathul Bari: 9/659.
[21]Nailul Authar: 1/73.
[22]Disampaikan at-Tirmidzi dalam Sunannya, pada Kitab Libas, Bab Ma Ja’a fi Julud al-Maitah Idza Dubighat; lihat: Tuhfat al-Ahwadzi: 5/401.
[23]Lihat: Tuhfah al-Ahwadzi: 5/401.
[24]Syarhul Mumti’: 1/75.
[25]Lihat: Syarhu Shahih Muslim: 4/276, dan al-Majmu’: 1/275.
[26]Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab, an-Nawawi, 1/275.
[27]Lihat: Syarhu Shahih Muslim: 4/276, dan al-Majmu’: 1/275.
[28]Fathul Bari: 9/659.
[29]Lihat: Syarhu Shahih Muslim: 4/276, dan al-Majmu’: 1/275.
[30]Nailul Authar: 1/73.
[31]Nailul Authar: 1/74.
[32]Lihat: Nailul Authar: 1/75.
[33]Nailul Authar: 1/75.