Belanja rokok rumah tangga miskin di kota ini lebih besar dari belanja untuk pendidikan dan kesehatan
Hidayatullah.com--Belanja rokok keluarga miskin (gakin) di Kota Bogor mencapai Rp20,5 miliar per tahun, atau Rp1.711.200.000,00 per bulan, kata Wakil Wali Kota Bogor Achmad Ru`yat.
"Belanja rokok rumah tangga miskin di kota ini lebih besar dari belanja untuk pendidikan dan kesehatan," kata Achmad Ru`yat yang menjadi "keynote speech" dalam seminar tentang "Rokok Halal atau Haram" di Balai Kota Bogor, Minggu.
Pada seminar bertema "Kebijakan Pemerintah Kota Bogor dalam Penerapan Larangan Merokok", dia lantas menjelaskan bahwa pengeluaran sebesar itu atas dasar hasil Survei Kesehatan Daerah (Surkesda) Kota Bogor tahun 2004.
Disebutkan, jumlah gakin di Bogor sebanyak 41.398 kepala keluarga. Mereka mengeluarkan uang untuk belanja rokok sebesar Rp1.711.200.000,00 per bulan.
"Dengan demikian, jumlah pengeluaran dalam kurun waktu satu tahun untuk membelanjakan rokok sekitar Rp20,5 miliar," katanya
dalam seminar yang diselenggarakan oleh Dewan Da`wah Islamiah Indonesia (DDII) Kota Bogor bekerja sama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat.
Ru`yat mengatakan jumlah perokok pria di rumah tangga telah mencapai 57 persen. Para perokok ini ikut mencemari keluarganya, terutama anak-anak dan wanita, termasuk wanita hamil, dengan asap rokok.
Menurut dia, fakta yang ada di lapangan telah mendorong pemkot setempat untuk melindungi warganya dari dampak negatif rokok.
"Fakta yang ada saat ini yang mendorong pemerintah melakukan berbagai upaya, salah satunya adalah dengan membuat payung hukum untuk melindungi warga dari bahaya rokok," katanya.
Wakil Wali Kota menegaskan upaya pemkot memberlakukan larangan merokok di kawasan tertentu dan membuat peraturan daerah adalah untuk melindungi warga negara dari asap rokok orang lain.
Labih lanjut dikatakan Ru`yat, masyarakat berhak mendapat perlindungan hukum dari asap rokok orang lain.
Menurut dia, hanya peraturan yang mengikat secara hukum yang dapat memberikan jaminan bagi masyarakat untuk mendapatkan udara bersih dan bebas dari asap rokok.
Ru`yat mengatakan pemkot bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bogor telah menetapkan Perda Nomor 12 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Dia berharap perda ini akan memacu semangat untuk bekerja lebih keras, lebih cerdas, dan lebih ikhlas dalam upaya mewujudkan Kota Bogor sebagai kota bebas asap rokok pada tahun 2010.
Sementara itu, Ketua DDII Kota Bogor K.H. Abas Aula menjelaskan tujuan dilakukan seminar yang diikuti elemen masyarakat adalah untuk memberikan pemahaman tentang halal dan haram rokok.
Pro dan kontra tentang fatwa haram rokok menjadi latar belakang DDII Kota Bogor menggelar seminar tersebut.
"Sejak diterbitkannya fatwa haram, masih banyak yang menolak dan menerima fakwa ini," katanya.
Dia berharap melalui sosialisasi yang dilakukan secara terus-menerus dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat akan fatwa tersebut.
Seminar tersebut disambut baik oleh Ketua MUI Kota Bogor K.H. Adam Ibrahim.
"Saya sudah sering mengimbau kepada para ulama, terutama jajaran pengurus MUI, untuk tidak bosan-bosannya menjelaskan tentang haramnya rokok. Kalau perlu setiap hari mengadakan seminar tentang haramnya rokok," kata Adam.
Adam mengemukakan alasan kenapa MUI mengeluarkan fatwa haram rokok karena Indonesia adalah negara nomor tiga di dunia yang penduduknya--notabene mayoritas umat Islam--banyak yang merokok.
Bahkan, lanjut dia, berdasarkan survei di Jawa Timur, ternyata semua petani tembakau di Jawa Timur dan Jawa Tengah tidak ada yang kaya.
Hal ini, kata Adam, tembakau yang digunakan untuk rokok tidak berasal dari Indonesia, tetapi diimpor dari luar negeri sehingga yang menikmati hasil dan penjualan rokok tersebut bukan petani tembakau, melainkan pengedar rokok yang kebanyakan dari luar negeri.
"Sementara bangsa kita hanya dapat penyakitnya saja. Sudah miskin, menderita pula. Yang kaya hanya bandar-bandarnya saja, dan sebagian besar keuntungan dari rokok ditarik oleh negara barat, Eropa, Amerika," katanya.
Diakhir pertemuan Adam menegaskan bahwa MUI sejak dua tahun lalu sudah mengeluarkan fatwa bahwa rokok itu haram. [ant/hidayatullah.com
"Belanja rokok rumah tangga miskin di kota ini lebih besar dari belanja untuk pendidikan dan kesehatan," kata Achmad Ru`yat yang menjadi "keynote speech" dalam seminar tentang "Rokok Halal atau Haram" di Balai Kota Bogor, Minggu.
Pada seminar bertema "Kebijakan Pemerintah Kota Bogor dalam Penerapan Larangan Merokok", dia lantas menjelaskan bahwa pengeluaran sebesar itu atas dasar hasil Survei Kesehatan Daerah (Surkesda) Kota Bogor tahun 2004.
Disebutkan, jumlah gakin di Bogor sebanyak 41.398 kepala keluarga. Mereka mengeluarkan uang untuk belanja rokok sebesar Rp1.711.200.000,00 per bulan.
"Dengan demikian, jumlah pengeluaran dalam kurun waktu satu tahun untuk membelanjakan rokok sekitar Rp20,5 miliar," katanya
dalam seminar yang diselenggarakan oleh Dewan Da`wah Islamiah Indonesia (DDII) Kota Bogor bekerja sama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat.
Ru`yat mengatakan jumlah perokok pria di rumah tangga telah mencapai 57 persen. Para perokok ini ikut mencemari keluarganya, terutama anak-anak dan wanita, termasuk wanita hamil, dengan asap rokok.
Menurut dia, fakta yang ada di lapangan telah mendorong pemkot setempat untuk melindungi warganya dari dampak negatif rokok.
"Fakta yang ada saat ini yang mendorong pemerintah melakukan berbagai upaya, salah satunya adalah dengan membuat payung hukum untuk melindungi warga dari bahaya rokok," katanya.
Wakil Wali Kota menegaskan upaya pemkot memberlakukan larangan merokok di kawasan tertentu dan membuat peraturan daerah adalah untuk melindungi warga negara dari asap rokok orang lain.
Labih lanjut dikatakan Ru`yat, masyarakat berhak mendapat perlindungan hukum dari asap rokok orang lain.
Menurut dia, hanya peraturan yang mengikat secara hukum yang dapat memberikan jaminan bagi masyarakat untuk mendapatkan udara bersih dan bebas dari asap rokok.
Ru`yat mengatakan pemkot bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bogor telah menetapkan Perda Nomor 12 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Dia berharap perda ini akan memacu semangat untuk bekerja lebih keras, lebih cerdas, dan lebih ikhlas dalam upaya mewujudkan Kota Bogor sebagai kota bebas asap rokok pada tahun 2010.
Sementara itu, Ketua DDII Kota Bogor K.H. Abas Aula menjelaskan tujuan dilakukan seminar yang diikuti elemen masyarakat adalah untuk memberikan pemahaman tentang halal dan haram rokok.
Pro dan kontra tentang fatwa haram rokok menjadi latar belakang DDII Kota Bogor menggelar seminar tersebut.
"Sejak diterbitkannya fatwa haram, masih banyak yang menolak dan menerima fakwa ini," katanya.
Dia berharap melalui sosialisasi yang dilakukan secara terus-menerus dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat akan fatwa tersebut.
Seminar tersebut disambut baik oleh Ketua MUI Kota Bogor K.H. Adam Ibrahim.
"Saya sudah sering mengimbau kepada para ulama, terutama jajaran pengurus MUI, untuk tidak bosan-bosannya menjelaskan tentang haramnya rokok. Kalau perlu setiap hari mengadakan seminar tentang haramnya rokok," kata Adam.
Adam mengemukakan alasan kenapa MUI mengeluarkan fatwa haram rokok karena Indonesia adalah negara nomor tiga di dunia yang penduduknya--notabene mayoritas umat Islam--banyak yang merokok.
Bahkan, lanjut dia, berdasarkan survei di Jawa Timur, ternyata semua petani tembakau di Jawa Timur dan Jawa Tengah tidak ada yang kaya.
Hal ini, kata Adam, tembakau yang digunakan untuk rokok tidak berasal dari Indonesia, tetapi diimpor dari luar negeri sehingga yang menikmati hasil dan penjualan rokok tersebut bukan petani tembakau, melainkan pengedar rokok yang kebanyakan dari luar negeri.
"Sementara bangsa kita hanya dapat penyakitnya saja. Sudah miskin, menderita pula. Yang kaya hanya bandar-bandarnya saja, dan sebagian besar keuntungan dari rokok ditarik oleh negara barat, Eropa, Amerika," katanya.
Diakhir pertemuan Adam menegaskan bahwa MUI sejak dua tahun lalu sudah mengeluarkan fatwa bahwa rokok itu haram. [ant/hidayatullah.com