Tuesday, May 25, 2010

Kemenangan Anas, Kekalahan SBY

Anas-SBY
(foto: anung/presidensby.info)
INILAH.COM, Jakarta - Kemenangan Anas Urbaningrum yang terkesan tanpa restu Cikeas menandai keinginan mayoritas peserta kongres menjadikan Partai Demokrat sebagai partai modern. Sekaligus wujud kekalahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Dalam kompetisi meraih kursi utama Demokrat itu di arena Kongres II di Bandung akhir pekan lalu itu, Anas unggul secara meyakinkan setelah bersaing dengan Marzuki Alie dan Andi Mallarangeng dalam dua putaran pemungutan suara.
“Kekalahan Andi karena sikap netral SBY selaku Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Berulang kali, SBY meminta peserta kongres untuk memilih sesuai hati nurani,” ujar Asri Aldila Putri, analis Uvolution Indonesia, sebuah lembaga yang mengkhususkan diri dalam konsultansi komunikasi, di Jakarta, Selasa (25/5).
Menurut Asri, sikap mencari aman yang ditunjukkan SBY dalam Kongress II kemarin terbukti merugikan Andi. Pasalnya, klaim dukungan Cikeas terhadap Andi tidak terkonfirmasi bagi peserta kongres. Itu pula sebabnya, politik pencitraan secara eksesif yang direpresentasikan Andi tidak efektif dan mengalami kekalahan telak sejak dari babak pertama.
Kekalahan juga menegaskan bahwa penggunaan politik pencitraan yang keliru ternyata dapat menjadi blunder politik yang fatal. Sikap SBY itu, lanjut Asri, justru menguntungkan kandidat pesaing Andi dalam merebut suara DPD dan DPC. “Inilah gambaran kekalahan Cikeas karena memberi dukungan setengah hati,” tegas Asri.
Seharusnya, Cikeas tidak perlu ragu memberikan dukungan penuh kepada Andi. Sebagai partai politik muda yang masih merangkak, Partai Demokrat membutuhkan bimbingan dari orang yang dituakannya, yang tak lain adalah SBY.
Sebagai pendiri sekaligus tokoh sentral partai, wajar saja bila SBY memberi arahan kepada anggota dan kadernya tentang siapa yang pantas untuk memimpin Partai Demokrat lima tahun ke depan.
Kekalahan Andi memang cukup mengejutkan. Andi bisa dikatakan percaya diri berlebihan dengan dukungan Cikeas. Seolah restu SBY, walaupun secara implisit, akan sangat efektif setelah putra SBY, Edi Baskoro (Ibas) ditunjuk sebagai Sekjen untuk mendampinginya.
“Pencitraan yang dilakukan Andi tersebut hanya menimbulkan perlawanan akar rumput. DPD dan DPC Partai Demokrat justru diam-diam semangat untuk melawan Andi dari bawah,” jelasnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, kekalahan Andi sejak putaran pertama menegaskan bahwa Partai Demokrat semakin independen. Secara figur, Anas yang merupakan mantan Ketua PB HMI, tidak diinginkan Cikeas karena dianggap terlalu hijau.
Kedekatannya dengan Akbar Tanjung pun dianggap tak menguntungkan SBY. “Jadi, jelas bahwa pilihan arus bawah menjadi motor kemenangan Anas dalam merebut posisi Ketua Umum Partai Demokrat,” ujar Asri.
Bagi Asri, sepak terjang Anas dalam politik praktis Indonesia belum memiliki jam terbang yang gemilang. Sebagaimana diketahui, satu semester pertama pemerintahan SBY-Boediono nyaris kekuatan Partai Demokrat di parlemen tak bekerja maksimal. Kinerja Anas sebagai Ketua Fraksi Partai Demokrat selama ini belum memuaskan dan selalu kalah dalam manuver politik di parlemen.
Selama ini manuver politik Partai Demokrat selalu kalah gesit. Misalnya saja Fraksi Partai Demokrat yang keteteran saat menghadapi Pansus Bank Century. “Contoh lainnya adalah kekalahan Partai Demokrat dalam pertarungan calon Deputi Gubernur BI di Komisi XI baru-baru ini,” katanya.
Di sisi lain, dalam pemilihan ketua umum partai kemarin, terlihat bahwa pengaruh SBY sudah tidak kuat lagi. Pengurus-pengurus di tingkat cabang sadar di 2014 SBY tidak bisa lagi dicalonkan pada pemilihan presiden mendatang. SBY juga tidak bisa lagi menjadi daya tarik bagi Partai Demokrat untuk menang dalam pemilu.
Asri juga menjelaskan, SBY seharusnya belajar dari Lee Kuan Yew. Meskipun kuatnya pengaruh Lee Kuan Yew mengakibatkan Singapura bukanlah sebuah negara yang ideal bila dilihat dari sisi demokratisasi. Namun pamor kepemimpinannya masih sangat kuat. Siapa yang menjadi Perdana Menteri (PM) dan Presiden Singapura harus mendapatkan "restu" dari Lee Kuan Yew.
SBY memang bukan Lee Kuan Yew dan mungkin kurang tepat untuk mencari Goh Chok Tong sebagai perantara atau “pelaksana tugas sementara”. Sebab Goh ternyata menduduki kursi PM 14 tahun dan membiarkan Lee Hsien Loong, putra mahkota pendiri Singapura itu menunggu. Namun pada akhirnya Hsien Loong menggantikan Goh Chok Tong dan meneruskan warisan ayahnya.
“Dua putra mahkota SBY, Agus dan Ibas masih terlalu junior untuk diorbitkan jadi presiden. Kalaupun Anas mau jadi Goh Chok Tong, ia belum tentu bisa menghadapi terpaan dan tantangan dari oposisi,” tutur Asri.
Kemenangan Anas tanpa restu Cikeas pun menandai keinginan mayoritas peserta kongres untuk menjadikan Partai Demokrat sebagai partai modern, dalam arti lepas dari pengaruh SBY.
Karena itu, mereka mendukung Anas yang menjanjikan Partai Demokrat sebagai partai melembaga, bukan milik individu. SBY terbukti tidak mampu merangkul Anas. SBY merupakan masa lalu bagi Demokrat. [mdr] inilah.com