Sunday, May 16, 2010

Panggung Sandiwara Berdarah


Menurut Kapolri, teroris akan membunuh para elit politik nasional pada 17 Agustus nanti. Tapi mengapa di sana-sini banyak kejanggalan? Benarkah untuk menutupi kasus penangkapan Kabareskrim Susno Duadji?

Ada yang istimewa dalam konferensi pers di Markas Besar Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Jumat 14 Mei lalu. Tak seperti biasanya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto hadir dalam keterangan pers soal kasus teroris ini bersama Japokri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri. “Masalah ini kan masih termasuk bidang koordinasi saya,” kata bekas Panglima TNI itu mencoba berkilah.

Siang itu Kapolri memang sudah dijadwalkan untuk mengumumkan hasil operasi anak buahnya –Detasemen Khusus 88 — dalam menangani kasus-kasus terorisme. Sebab, selama tiga pekan terakhir polisi telah panen tangkapan. Tampaknya, Djoko datang ke Mabes Polri untuk mempertegas kesan bahwa kisah yang hendak digelar Kapolri bukanlah cerita bohong. “Jangan memandang itu isu yang tidak benar,” kata Djoko Suyanto.

Pengumuman Kapolri itu cukup gawat. Sebab, kata Kapolri, kelompok teroris yang sudah digulung anakbuahnya itu merancang serangan terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan para pejabat penting Indonesia. Menurut BHD, begitu Kapolri biasa disapa, rencana itu akan dilaksanakan saat upacara Ulang Tahun RI. “Pada 17 Agustus 2010 mereka akan melakukan penyerangan dan pembunuhan para pejabat yang melakukan upacara 17 Agustus,” ujarnya.

Untuk menyerang Presiden, kata BHD, gerombolan itu mempersiapkan serangan jarak jauh dengan senjata api yang khusus didatangkan dari Philipina. Untuk mendatangkan senjata api itu mereka menugasi Suhardi alias Usman dan Rosikien Noor untuk mengambil 21 pucuk senjata di Mindanao “Termasuk long shot untuk penembakan jarak jauh saat upacara 17 Agustus itu,” kata BHD lagi. Padahal, dua orang itu sudah tewas ditembak dua bulan lalu di Pamulang.

Masih menurut Kapolri, para teroris berprinsip bahwa dengan terbunuhnya para pejabat negara, maka sudah tidak ada lagi pemimpin negara di Indonesia. Pada saat itulah mereka, kata BHD, akan memproklamirkan negara sesuai dengan dasar yang mereka inginkan, yakni berdasarkan syariat Islam. “Akan di-declare pada 17 Agustus 2010 mendatang," kata Bambang.

Nah, setelah kehilangan beberapa nama legendaris seperti DR Azahari, Noordin M Top dan Dulmatin tewas, Markas Besar Kepolisian RI kini memunculkan nama baru. Orang itu bernama Abdullah Sonata, dan dituding sebagai buronan teroris yang paling dicari. “Abdullah Sonata ini yang menjadi atensi kami, karena dia militan dan telah menjadi DPO dan harus dilakukan pengejaran,” kata BHD.

Menurut penjelasan BHD, Sonata adalah pimpinan kelompok bersenjata di Aceh. Saat konflik Ambon, saat bergabung dalam Kompak, ia dikabarkan memimpin jihad. Sonata pernah divonis tujuh tahun atas dugaan menyimpan senjata dan membunyikan tersangka teroris Noordin M Top. “Setelah divonis, dia keluar dan memimpin kembali," ujarnya. Abdullah divonis 7 tahun penjara karena terbukti menyimpan senjata api dan menyembunyikan Noordin M Top.

Dagelan Penggerebegan Teroris

Tapi ternyata tak semua wartawan tersihir oleh penjelasan Kapolri. Beberapa di antara mereka justru merasa aneh dengan semua penjelasan Kapolri, termasuk soal rencana penembakan Presiden SBY dan para pejabat lainnya pada tanggal 17 Agustus dan klaim yang akan disiapkan oleh kelompok . Sebab, dalam berbagai operasi penangkapan dan penggerebegan di berbagai kota itu muncul berbagai kejanggalan.

Salah satu yang menyoroti kejanggalan itu adalah Hanibal Wijayanta, seorang wartawan di stasiun televisi ANTV, milik keluarga Bakrie. Dalam akun Facebooknya itu, wartawan yang konon cukup dekat dengan Presiden SBY itu menceritakan berbagai keanehan yang diliput dan ditangkap kamera ANTV, terutama pada saat penyerbuan di Solo, Jawa Tengah. Tulisannya yang berjudul Dagelan Penggerebegan Teroris itu kemudian dikutip di berbagai forum diskusi via internet di Jakarta.

Berikut tulisannya:

Beberapa hari terakhir masyarakat kembali dikejutkan oleh operasi penangkapan dan penembakan teroris. Pekan lalu, belasan orang ditangkap di kawasan Pejaten, yang hanya berjarak sekitar 2 kilometer dari markas Badan Intelijen Negara (BIN). Rabu siang lalu (12/5) sekelompok orang ditangkap di Cikampek, Jawa Barat, dan menewaskan dua orang di antara mereka. Beberapa jam kemudian, tiga tersangka teroris juga diterjang timah panas polisi dan tewas saat turun dari taksi di keramaian jalan Sutoyo Siswomihardjo, kawasan Cililitan, Jakarta Selatan.

Lewat corong media massa, polisi mengatakan bahwa mereka adalah tersangka teroris. Awalnya polisi baru mengatakan bahwa mereka terlibat dalam kasus teroris Aceh yang ditangkap dan didor dua bulan lalu. Belakangan, polisi mengatakan bahwa mereka juga terlibat kasus bom Marriott dan bom Kedubes Australia. Bahkan kabarnya salah seorang tersangka yang ditembak polisi adalah Umar Patek, salah satu pelaku Bom Bali I, yang sempat diberitakan tewas di Filipina.

Hari ini, Kamis (13/5) polisi ternyata sudah langsung bergerak ke Solo, termasuk komandan lapangan Densus 88 Kombes Muhammad Syafei yang sampai kemarin sore masih berada di Cikampek. Sang Kombes juga sempat memberikan clue kepada tim liputan kami bahwa, “Akan ada gunung meletus di Solo.” Di Solo polisi ternyata menangkap tiga orang tersangka, entah di mana ditangkapnya, kemudian menyerbu sebuah rumah bengkel. Di tempat inilah polisi menemukan sepucuk M-16, pistol, peluru, dan buku-buku jihad (!)… Hmmm… Sigap nian polisi kita.

Namun ada yang menarik dalam penggerebegan teroris di Solo kali ini. Sebab, sebelum penggerebegan itu, polisi sempat menggelar brieffing terlebih dahulu dan persiapan-persiapan seperlunya di sebuah rumah makan. Di tempat itu pula –di pinggir jalan— mereka baru memakai rompi anti peluru setelah melempar-lemparkannya sebentar di antara mereka, memasang sabuk, penutup kepala, senjata api dan persiapan-persiapan lain. Beberapa warga yang melintas sempat menonton mereka show of force, dan terkagum-kagum heran melihat semua persiapan itu. “Wah, iki Densus 88 yo, Mas, edan tenan…,” kata seorang warga.

Acara persiapan pra penyerbuan yang sangat terbuka seperti ini tentu saja jarang terlihat pada penggerebegan sebelumnya. Pada penyerbuan-penyerbuan sebelumnya, biasanya polisi sudah memakai pakaian tempur lengkap dan masuk ke lokasi di malam hari atau pagi buta. Sementara pada acara persiapan tadi pagi, matahari sudah mulai hangat di tengkuk. Saat itu sebenarnya beberapa wartawan cetak dan elektronik sudah mulai berdatangan ke rumah makan itu. Sayang mereka tidak berani mengambil momentum bersejarah ini…

Nah, setelah semua anggota lapangan memakai peralatan rapi, mereka lalu masuk ke mobil dan langsung bergerak. Hanya bergerak sebentar tiba-tiba mobil-mobil Densus 88 itu berhenti. Para anggota lapangan pun bergerak mengepung sekitar lokasi dan kemudian memasuki rumah yang dipakai menjadi bengkel itu. Para wartawan yang mengikuti mereka sampai tergopoh-gopoh karena terkejut. Mereka tidak mengira rumah sasaran sedekat itu. Tahukah anda, berapa jaraknya dari rumah makan tadi? Hanya 200 meter, dan terlihat jelas dari restoran tadi!!

Maka drama penggerebegan yang tidak lucu itu pun terjadi. Para wartawan bisa mendekat ke TKP bahkan sampai ke pintu rumah bengkel tadi. Para anggota Densus 88 itu pun bisa diambil gambarnya dalam jarak dekat. Mereka sama-sekali tidak berusaha menghalangi atau melarang, mereka juga tidak mengusir para wartawan. Para petugas membiarkan para cameraman televisi mengambil gambar hingga di pintu rumah itu, dan bisa mengambil gambar ketika anggota densus 88 berada di salah satu ruangan.

Dalam rekaman para cameraman televisi, Lazuardi reporter/cameraman Metro TV dan Ecep S Yasa, dari TV-One tampak diberi privilege untuk mengambil gambar terlebih dahulu dari wartawan lain. Meskipun demikian mereka juga sempat disuruh keluar terlebih dahulu, “Nanti dulu-nanti dulu, belum siap,” kata seorang anggota Densus 88. Para wartawan sempat bertanya-tanya, apanya yang belum siap. Namun ketika boleh masuk, para wartawan melihat bahwa barang bukti sudah tersusun rapi di lantai.

Yang sangat menarik, bagi wartawan yang sudah biasa meliput penangkapan teroris, tampak jelas dari bahasa tubuh mereka, bahwa para anggota Densus 88 itu tidak menunjukkan tanda-tanda stres yang menyebabkan adrenalin melonjak. Mereka tampak lebih santai dari pada ketika mereka menggerebeg tersangka teroris sebelumnya. Bahkan mereka menunjukkan kegembiraan yang janggal ketika saling mengacungkan jempol, tos dan sebagainya, setelah operasi dinyatakan berhasil.

Perilaku yang aneh juga tampak ketika para perwira Densus 88 termasuk komandan lapangan mereka, Kombes Muhammad Syafei datang ke rumah bengkel itu dan mau diambil gambarnya oleh para wartawan, bahkan dalam posisi close-up. Padahal selama ini dia dikenal paling alergi dengan kamera wartawan. Tak segan-segan ia menyuruh wartawan mematikan camera atau menghapus gambar yang ada dirinya.

Kejanggalan pun semakin lengkap ketika beberapa warga mengakui bahwa sebenarnya sehari sebelumnya rumah bengkel itu sudah didatangi sejumlah orang bertampang tegap, yang menurut warga adalah polisi…. “Ya mirip mereka-mereka itu, mas…,” kata mereka. Lalu, apa artinya semua ini? Begitu si wartawan menutup ceritanya

Pengalihan Isu

Tak hanya soal penyerbuan yang janggal—seperti dalam sinetron laga -- dalam tayangan berbagai stasiun televisi juga terlihat jelas betapa peluru-peluru yang menjadi barang bukti dalam penyerbuan itu juga tampak masih baru, mengkilat dan tersusun lengkap dalam tiga karton wadah amunisi. Buku-buku yang disita pun masih tampak baru dan selulah malah belum pernah dibuka.

Maka ketika soal peluru yang masih baru dan mengkilat itu dan berbagai kejanggalan yang terjadi dipertanyakan oleh wartawan, sambil tersenyum masam BHD mengakui tentang adanya kebocoran amunisi. Justru Djoko Suyanto yang kemudian menimpali. Menurut dia , pengembangan kasus teroris itu adalah hasil kerja polisi dari rangkaian sejumlah aksi. Karena itu, ia meminta masyarakat tidak memandang rendah hal itu. "Tidak boleh ada underestimate dengan apa yang sudah disampaikan Kapolri,” ujarnya.

Melihat fakta yang terungkap ini, Ketua Tim Advokasi Forum Umat Islam (FUI) Munarman SH menengarai bahwa isu terorisme sesungguhnya hanyalah upaya untk mengalihkan isu mafia hukum yang sedang dibongkar mantan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duaji. Apalagi kini Susno justru ditahan polisi. bahwa “Isu terorisme ini sengaja dipelihara dan sengaja diciptakan oleh Polri, dan dimunculkan saat sedang terjadi kasus besar,” kata Munarman.

Sementara itu, informasi dari polisi bahwa para teroris akan membunuh Presiden SBY dan para tokoh, kemudian mengganti pemerintahan Indonesia dengan pemerintahan yang berdasarkan syari’at sesuai dengan tanzim Al-Qaidah, menurut Munarman adalah sebuah bentuk stigmatisasi terhadap kelompok-kelompok Islam yang berjuang untuk menerapkan ajaran Islam secara kaafah dengan menjalankan Syariat Islam. “Isu terorisme ini benar-benar sebuah pengalihan isu,” ujarnya.
(Abu Nadia)