Tuesday, May 18, 2010

Takfir dan Gerakan Dakwah

Ujian senantiasa menanti mereka yang hendak ‘naik tingkatan’.  Jikalau ada yang merasa dirinya pantas, maka akan selalu ada yang siap menguji.  Setelah reformasi bergulir, ketika sumbat-sumbat politik terhadap pergerakan Islam telah dilepaskan, mengucur deraslah pemikiran-pemikiran Islam dengan warna-warninya.  Menumbangkan Orde Baru adalah suatu ujian berat yang telah dilalui, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.  Sekarang, pergerakan Islam menghadapi ujian yang lain lagi.

Ternyata, dengan segala kebebasan yang kini dinikmati, pergerakan Islam tidak lantas berjaya.  Setelah mencetak progres yang cukup menyenangkan, kini malah cenderung stagnan.  Salah satu penyebabnya adalah munculnya gerakan-gerakan radikal yang berlawanan telak dengan kesan yang ingin dibangun oleh pergerakan Islam di awal masa reformasi.

Di satu sisi, ada proses aksi-reaksi.  Munculnya beragam analisis mengenai isu terorisme yang dengan sengaja dirancang pemerintah untuk mendiskreditkan pergerakan Islam adalah suatu hal yang semakin merenggangkan hubungan kedua belah pihak.  Teori konspirasi semacam ini memang bukan sekedar isapan jempol, karena telah nyata terjadi di berbagai negara, termasuk di Indonesia juga.  Hal yang menjadikannya tambah menarik adalah munculnya reaksi yang sangat beragam dari umat Islam, diantaranya adalah munculnya sikap radikal yang justru merupakan reaksi dari tuduhan radikalisme sebelumnya.  Tindakan represif pemerintah direspon dengan sikap apriori oleh sebagian gerakan dakwah sehingga memunculkan penolakan yang lebih keras lagi terhadap pemerintah.

Sekarang, gerakan takfir telah menggema kembali di tanah air.  Beberapa gerakan dakwah telah secara terang-terangan mengatakan bahwa semua polisi telah murtad – dengan kata lain, batal keislamannya – sedangkan semua orang yang bekerja di pemerintahan, semua pegawai negeri sipil, termasuk para guru, adalah penyembah thaghut.

Demokrasi pun tak luput dari tuduhan sebagai thaghut, sehingga semua yang berkecimpung di dalamnya dianggap sebagai penyembah thaghut juga.  Padahal yang ikut berpartisipasi dalam demokrasi bukan hanya ulama sekarang, melainkan juga nama-nama besar di masa lampau, mulai dari Hasan al-Banna sampai Hamka, Natsir dan seterusnya.  Tentu saja pendapat segelintir orang tidak bisa menjadikan yang haram itu halal, namun fakta ini bisa menjadi petunjuk bahwa pendapat ulama dalam hal ini tidaklah tunggal.

Jika melihat perjuangan para Nabi dan Rasul, kita akan jumpai kesabaran yang luar biasa yang ditunjukkan oleh para hamba Allah pilihan tersebut ketika menghadapi umatnya.  Setelah ratusan tahun Nabi Nuh as. berdakwah, hanya sedikit saja pengikutnya.  Selama ratusan tahun itu pula beliau tak pernah memohonkan adzab bagi kaumnya yang tidak beriman.  Ketika adzab benar-benar datang, keputusan itu pun tidak datang dari dirinya.

Kalau mau, Nabi Ibrahim as. mungkin bisa mengambil langkah ekstrem ketika menghadapi kebodohan kaumnya.  Kemusyrikan mereka yang telah sangat nyata tidak menghalangi beliau untuk menggunakan retorika demi menggelitik logika, berharap agar suatu hari akal mereka mampu mengendalikan hatinya.  "Tanyakanlah pada berhala terbesarmu itu, mungkin dia tahu siapa yang menghancurkan berhala-berhala lainnya!"  Maka runtuhlah bangunan teologi sesat yang sudah mereka jadikan pegangan sejak jaman nenek moyangnya.

Nabi Musa as. barangkali paling cocok untuk dijadikan contoh betapa seorang pemimpin umat kadang harus rela ditekan dari dua arah sekaligus.  Dari satu sisi, Fir’aun dan antek-anteknya terus berusaha menghapuskan ajaran tauhid yang dibawanya.  Dari sisi yang lain, Bani Israil yang dipimpinnya pun tidak mempermudah misinya; sikap pengecut sebagai bangsa jajahan telah memenuhi isi kepala mereka, sedangkan mereka seringkali membangkang dari arahan Rasul-Nya.  Terhadap kedua belah pihak, Nabi Musa as. tidak mengumbar takfir.  Fir’aun yang mengaku sebagai tuhan masih diajak bicara baik-baik, sedangkan kaumnya yang membuat berhala ketika ditinggal sebentar – padahal Nabi Harun as. masih ada bersama mereka – tidak serta-merta disebut kafir dan ditinggalkan begitu saja.

Para Nabi dan Rasul senantiasa bersama kaumnya hingga vonis dijatuhkan dalam bentuk konfirmasi kekafiran hingga turunnya jadwal adzab kepada mereka.  Sebelum informasi yang jelas mengenai masalah ini diklarifikasi, tidak dibenarkan bagi mereka untuk meninggalkan kaumnya.  Bagi Sang Nabi Penutup, yaitu Nabi Muhammad saw., opsi adzab yang menghapus sebuah kaum bahkan sudah tidak ada lagi, karena kenabiannya ditujukan kepada seluruh manusia hingga akhir jaman.  Jangan pernah mengartikan hijrah sebagai pemutusan hubungan, karena ketika akhirnya Mekkah kembali dikuasai oleh kaum Muslimin, maka Rasulullah saw. adalah orang pertama yang menyambung tali silaturrahim, meskipun hanya diikat dengan perasaan sebangsa atau sekeluarga.  "Barangsiapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan, maka ia aman!"  Yang tidak aman pada hari itu hanyalah mereka yang melawan, dan yang dihancurkan hanyalah berhala-berhala.

Sungguh menarik betapa Rasulullah saw. sangat berhati-hati terhadap takfir.  Ketika utusan Musailamah menghadap, masih dipertanyakan juga pendapatnya tentang sang nabi palsu yang mengirimnya itu.  Barangkali utusannya ini sekedar budak atau pesuruh yang tidak ada sangkut-paut 'aqidah dengan Musailamah.  Barangkali keluarganya ditawan sehingga ia terpaksa menjadi utusan.  Ketika telah jelas bahwa sang utusan benar-benar beriman pada Musailamah, barulah Rasulullah saw. berkata tegas, "Kalau bukan karena larangan menyakiti utusan, sudah kupenggal leher kalian!"  Di kemudian hari, para sahabat bertemu lagi dengan mereka di tempat lain ketika mereka sedang tidak bertugas sebagai utusan.  Pada saat itu, tak ada halangan lagi untuk memenggalnya.

Pada kesempatan lain, Rasulullah saw. pun marah besar ketika seorang sahabat didapatinya telah membunuh prajurit lawan di medan jihad, karena lawannya itu telah menyerah dan mengucapkan syahadatain.  Pembunuhnya merasa yakin betul bahwa syahadatain tersebut hanya sebuah taktik untuk menghindari kematian, akan tetapi Rasulullah saw. tetap menyesalkan perbuatan tersebut.  Kalau persoalannya hanya kasus itu saja, Rasulullah saw. bisa saja bertanya kepada Allah mengenai status keimanan orang yang terbunuh itu, agar masalahnya bisa segera diklarifikasi.  Tapi masalahnya adalah pada prosedur berpikir yang akan diterapkan hingga akhir jaman.  Maka, dengan alasan apa pun, apalagi kalau hanya sekedar berdasarkan kecurigaan, orang yang mengucap syahadatain tidak boleh dikafirkan.

Kita tidak menemukan ulama-ulama besar dalam sejarah yang mengumbar takfir.  Tindakan ini sangat berbahaya, karena hanya jatuh pada dua kemungkinan: benar atau salah.  Jika tuduhannya salah, maka kekafiran berbalik pada penuduhnya.  Sama sekali tidak sederhana, sehingga vonis kekafiran tak boleh jatuh kecuali jika tertuduh mengakuinya sendiri, atau ia sudah menjalani pengadilan resmi – di mana ia dimintai keterangan, dikonfirmasi pendapatnya, dan diberi kesempatan membela diri – dan kemudian dijatuhi vonis oleh sebuah majelis ulama yang kredibel.  Jika seorang utusan nabi palsu pun masih dikonfirmasi keimanannya, tidakkah polisi dan PNS yang masih bersyahadat, shalat, shaum, berzakat dan berhaji lebih berhak mendapatkan prasangka baik dari kita?

http://akmal.multiply.com/journal/item/788/Takfir_dan_Gerakan_Dakwah