Sejumlah negara di Eropa seakan berlomba. Secara simultan, mereka mengusung pelarangan cadar dan jilbab. Belgia, misalnya, telah mengusung larangan pemakaian cadar dan pakaian Islam lainnya yang sepenuhnya membalut tubuh perempuan Muslim.
Sebelumnya, Prancis juga mendorong larangan yang sama. Demikian pula, dengan Belanda. ''Sebagian besar partai mendukung larangan ini,'' kata Leen Dierick, seorang anggota parlemen Belgia dari kubu konservatif. Ia mengatakan, usulan pelarangan cadar telah mendapatkan dukungan mayoritas anggota parlemen.
Diharapkan, kata Dierick, pada Juli mendatang usulan rancangan itu akan menjadi undang-undang. Jika telah berlaku efektif, pelarangan bagi perempuan Muslim mengenakan pakaian yang sepenuhnya menutup tubuh dan wajahnya berlaku di tempat-tempat publik, termasuk di jalan.
Selama ini, sejumlah pemerintah kota di Belgia memberlakukan larangan pada pakaian semacam itu. Namun, kata dia, pemerintah lokal belum sepenuhnya menerapkan kebijakan tersebut. ''Intinya adalah keamanan publik, bukan karena pertimbangan kebebasan agama,'' kata Dierick.
Namun, ada beragam alasan dalam upaya pelarangan itu. Munculnya simbol-simbol Islam, seperti jilbab termasuk cadar, dikhawatirkan menggerus identitas sebuah negara. Alasan ini berbaur dengan keluhan bahwa imigran, yang sebagian besar Muslim, telah mengurangi kesempatan kerja warga asli negara Eropa.
Anggota parlemen Belgia, Filip Dewinter, mengatakan kebanyakan politisi mendukung pelarangan cadar dan pakaian semacamnya karena khawatir kehilangan dukungan. Bahkan, ia mengklaim, kubunya merupakan pihak yang pertama kali mengajukan usulan itu.
Persoalan dukungan politik juga menjadi alasan Freedom Party yang dipimpin oleh Geert Wilders melakukan sikap anti-Islam, termasuk mendorong pelarangan pemakaian jilbab. Partai tersebut berharap akan mendulang semakin banyak dukungan, terutama untuk mendapatkan kursi di parlemen.
Wilders dan para pendukungnya menyatakan, Muslim mengancam nilai-nilai Eropa dengan mengenakan jilbab dan cadar. Di sisi lain, Wakil Presiden Belgian Muslim Executive, Isabelle Praile, mengatakan, larangan cadar sebenarnya tak perlu. Sebab, hanya sedikit perempuan Muslim yang mengenakan cadar.
Langkah ini justru hanya menunjukkan adanya rasa Islamofobia. ''Bagi Muslim di Eropa, sebenarnya persoalan ekonomi, biaya hidup, dan perumahan yang layak menjadi isu yang lebih penting daripada mengkhawatirkan larangan cadar,'' kata Praile seperti dikutip Associated Press (AP), akhir pekan lalu.
Umar Mirza, seorang editor sebuah situs Muslim Belanda, We're Staying Here , mengatakan, masih terjadinya perdebatan mengenai jilbab menunjukkan komunitas Muslim belum sepenuhnya diterima. Padahal di Inggris, mereka membuat seragam khusus bagi perempuan berjilbab.
Menurut dia, ini menunjukkan kemauan baik dari pemerintah dan meningkatkan partisipasi Muslim di dalam masyarakat.
Solidaritas pun datang dari para perempuan Afghanistan. Seorang aktivis perempuan, Shinkai Karokhail, mengatakan, ada standar ganda yang dilakukan negara-negara Eropa dalam pelarangan jilbab dan cadar. Mereka mengaku negara demokratis, tetapi menetapkan batasan pada perempuan Muslim.
''Negara-negara demokratis mestinya tak melakukan kediktatoran, dan perempuan Muslim seharusnya juga tak dihalangi untuk berkesempatan mengenakan pakaian yang diyakininya. Semua sepatutnya didasarkan pada keputusan para perempuan itu sendiri,'' kata Karokhail.
Red: irf
Rep: Ferry Kisihandi
Sumber: republika.co.id
Rep: Ferry Kisihandi
Sumber: republika.co.id