Kyai Hasyim Asy’ari dikenal pembela syariat Islam. Andai beliau masih hidup, pasti berada di garda depan menolak pemikiran Liberal
Oleh: Kholili Hasib*
SUSUNAN Pengurus PBNU telah diumumkan, namun apakah sudah steril dari orang-orang liberal? Tentunya, harapan itu besar bagi umat Islam Indonesia. Sudah saatnya arus liberalisasi agama yang diusung oleh sebagian intelektual muda NU belakangan ini ditanggapi serius dan tegas. Sebab, pemikiran ‘nyeleneh’ mereka sangat jauh dari ajaran-ajaran KH. Hasyim Asy’ari –pendiri NU – yang dikenal tegas dan tidak kompromi terhadap tradisi-tradisi batil.
Ironinya, ketokohan Kyai Hasyim tidak hanya sudah ditinggalkan, akan tetapi malah berusaha ditarik-tarik dengan mengatakan, Kyai Hasyim adalah tokoh inklusif.
“KH. Hasyim adalah tokoh moderat, menghargai keberagamaan, dan terbuka,” begitu ungkap seorang kader muda NU, dalam acara bedah bukunya berjudul “Hadratussyaikh; Moderasi Keumatan dan Kebangsaan” pada 13 Maret 2010 di Jombang.
Penulisnya yang juga aktivis Islam Liberal, tampaknya ingin menarik-narik bahwa pemikiran Kyai Hasyim sesuai dengan pemikiran progresif anak-anak muda NU saat ini.
Progresif dalam pemikirannya, adalah yang tak jauh dari pemikiran liberal dan inklusif. Tentu, ini sebuah kesimpulan yang cenderung gegabah. Kesimpulannya tersebut akan membawa dampak tidak sehat terhadap organisasi NU ke depan. Sebab, ketokohan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari sangat jauh dari ide-ide inklusifisme (keterbukaan) mereka. Pada zamannya, harap dicatat, Kyai Hasyim adalah tokoh sangat concern membela syari’at Islam.
Dalam konteks dinamika pemikiran progresif anak-anak muda NU seperti sekarang, cukup menarik bila kita mengkomparasikan dengan pemikiran founding father Jam’iyah NU ini. Ada jarak yang cukup lebar ternyata antara ide-ide Kyai Hasyim dengan wacana-wacana yang dikembangkan kader-kader muda NU yang liberal itu.
Ketokohan KH. Hasyim Asy’ari yang sangat disegani, membuat orang NU ingin diakui sebagai pengikut beliau. Akan tetapi, upaya pengakuan yang dilakukan anak-anak muda liberal NU tidak dilakukan dengan mengaca pada perjuangan dan ideologi Kyai Hasyim.
Sebaliknya, pemikiran Kyai Hasyim justru secara paksa disama-samakan dengan pemikiran iklusivisme mereka. Padahal Kyai Hasyim pada zamannya terkenal sebagai ulama’ yang tegas dan tidak kompromi dengan tradisi-tradisi yang tidak memiliki dasar.
Ketegasan Kyai Hasyim
Wajah pemikiran pendiri NU ini yang paling menonjol adalah dalam pendidikan Islam, sosial politik, dan akidah. Akan tetapi pemikiran terakhir beliau ini belum banyak dielaborasi. Padahal untuk bidang keyakinan yang prinsip, beliau dikenal mengartikulasikan basicfaithnya secara ketat, tegas, dan tidak kompromi.
Dalam kitabnya Al-Tasybihat al-Wajibat Li man Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat mengisahkan pengalamannya. Tepatnya pada Senin 25 Rabi’ul Awwal 1355 H, Kyai Hayim berjumpa dengan orang-orang yang merayakan Maulid Nabi SAW. Mereka berkumpul membaca Al-Qur’an, dan sirah Nabi.
Akan tetapi, perayaan itu disertai aktivitas dan ritual-ritual yang tidak sesuai syari’at. Misalnya, ikhtilath (laki-laki dan perempuan bercampur dalam satu tempat tanpa hijab), menabuh alat-alat musik, tarian, tertawa-tawa, dan permainanan yang tidak bermanfaat. Kenyataan ini membuat Kyai Hasyim geram. Kyai Hasyim pun melarang dan membubarkan ritual tersebut.
Dalam aspek keyakinan, Kyai Hasyim juga telah wanti-wanti warga Nadliyyin agar menjaga basic-faith dengan kokoh. Pada Muktamar ke-XI pada 9 Juni 1936, Kyai Hasyim dalam pidatonya menyampaikan nasihat-nasihat penting. Seakan sudah mengetahui akan ada invasi Barat di masa-masa mendatang, dalam pidato yang disampaikan dalam bahasa Arab, beliau mengingatkan, “Wahai kaum muslimin, di tengah-tengah kalian ada orang-orang kafir yang telah merambah ke segala penjuru negeri, maka siapkan diri kalian yang mau bangkit untuk…dan peduli membimbing umat ke jalan petunjuk.”
Dalam pidato tersebut, warga NU diingatkan untuk bersatu merapatkan diri melakukan pembelaan, saat ajaran Islam dinodai. “Belalah agama Islam. Berjihadlah terhadap orang yang melecehkan Al-Qur’an dan sifat-sifat Allah Yang Maha Kasih, juga terhadap penganut ilmu-ilmu batil dan akidah-akidah sesat”, lontar Kyai Hasyim. Untuk menghadapi tantangan tersebut, menurut Kyai Hasyim, para ulama harus meninggalkan kefanatikan pada golongan, terutama fanatik pada masalah furu’iyah. “Janganlah perbedaan itu (perbedaan furu’) kalian jadikan sebab perpecahan, pertentangan, dan permusuhan,” tegasnya.
Tegas, tidak kenal kompromi dengan tradisi-tradis batil, serta bijaksana, inilah barangkali karakter yang bisa kita tangkap dari pidato beliau tersebut. Bahkan pidato tersebut disampaikan kembali dengan isi yang sama pada Muktamar ke-XV 9 Pebruari 1940 di Surabaya. Hal ini menunjukkan kepedulian beliau terhadap masa depan warga Nadliyyin dan umat Islam Indonesia umumnya, terutama masa depan agama mereka ke depannya – yang oleh beliau telah diprediksi mengalami tantangan yang berat.
Situasi aktual yang akan dihadapi kaum muslim ke depan sudah menjadi bahan renungan Kyai Hasyim. Dalam kitab Risalah Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah, beliau mengutip hadis dari kitab Fathul Baariy bahwa akan datang suatu masa bahwa keburukannya melebihi keburukan zaman sebelumnya. Para ulama dan pakar hukum telah banyak yang tiada. Yang tersisa adalah segolongan yang mengedepan rasio dalam berfatwa. Mereka ini yang merusak Islam dan membinasakannya.
Dalam kitab yang sama, mbah Hasyim (demikian sering dipanggil) menyinggung persoalan aliran-aliran pemikiran yang dikhawatirkan akan meluber ke dalam umat Islam Indonesia. Misalnya, kelompok yang meyakini ada Nabi setelah Nabi Muhammad, Rafidlah yang mencaci sahabat, kelompok Ibahiyyun – yaitu kelompok sempalan sufi mulhid yang menggugurkan kewajiban bagi orang yang mencapai maqam tertentu - , dan kelompok yang mengaku-ngaku pengikut sufi beraliran wihdatul wujud, hulul, dan sebagainya.
Menurut Kyai Hasyim, term wihdatul wujud dan hulul dipahami secara keliru oleh sebagian orang. Kalaupun term itu diamalkan oleh seorang tokoh sufi dan para wali, maka maksudnya bukan penyatuan Tuhan dan manusia (manunggaling kawula).
Seorang sufi yang mengatakan “Maa fi al-Jubbah Illa Allah”, maksudnya adalah bahwa sesuatu yang ada dalam jubbah atau benda-benda lainnya di alam ini tidak akan wujud, kecuali karena kekuasaan-Nya. Artinya, menurut Kyai Hasyim, jika istilah itu dimaknai manunggaling kawula, maka beliau secara tegas menghukumi kafir.
Karakter pemikiran yang diproduk Kyai Hasyim memang terkenal berbasis pada elemen-eleman fundamental. Dalam karya-karya kitabnya, ditemukan banyak pandangan beliau yang menjurus pada penguatan basis akidah. Dalam kitabnya Risalah Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah itu misalnya, Kyai kelahiran Jombang ini menulis banyak riwayat tentang kondisi pemikiran umat pada akhir zaman.
Oleh sebab itu, Kyai Hasyim mewanti-wanti agar tidak fanatik pada golongan, yang menyebabkan perpecahan dan hilangnya wibawa kaum muslim. Jika ditemukan amalan orang lain yang memiliki dalil-dalik mu’tabarah, akan tetapi berbeda dengan amalan syafi’iyyah, maka mereka tidak boleh diperlakukan keras menentangnya. Sebaliknya, orang-orang yang menyalahi aturan qath’i tidak boleh didiamkan. Semuanya harus dikembalikan kepada al-Qur’an, hadis, dan pendapat para ulama terdahulu.
NU Tapi Liberal
Sayangnya, model pemikiran-pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tersebut tidak menjadi kaca yang baik. Bahkan ‘kaca’ pemikiran Kyai Hasyim berusaha diburamkan sedemikian rupa, terutama oleh anak-anak muda NU yang liberal.
Punggawa-punggawa Jaringan Islam Liberal (JIL) tak sedikit berlatar belakang NU. Akan tetapi, yang diperjuangkan bukan lagi ke-NU-an sebagaimana ajaran Kyai Hasyim, melainkan pluralisme, sekularisme, kesetaraan gender, dan civil society.
Beberapa intelektual muda NU yang hanyut dalam arus liberalisme agama harus ditanggapi serius. Pemikiran anak-anak muda itu cukup membahayakan. Tidak hanya bagi NU, tapi juga keberagamaan di Indonesia secara umum.
KH. Hasyim Muzadi ketika masih menjabat ketua PBNU telah merasa gerah dengan munculnya wacana liberalisasi agama yang melanda kalangan muda NU. Beliau telah menyadari bahwa liberalisme telah menjadi tantangan di NU.
Sebab, liberalisasi agama jelas menyalahi tradisi NU, apalagi melawan perjuangan KH. Hasyim Asy’ari. ”Liberalisme ini mengancam akidah dan syariah secara bertahap,” ujar KH Hasyim Muzadi seperti dikutip www.nuonline.com pada 7 Februari 2009.
Kekhawatiran tersebut memang perlu menjadi bahan muhasabah di kalangan warga NU. Sebab, invasi anak-anak muda tersebut pelan-pelan akan menghujam ormas Islam terbesar tersebut. Kasus Ulil yang memberanikan diri mencalonkan diri sebagai ketua PBNU dalam muktamar kemarin adalah sebuah sinyal kuat, bagaimana tokoh liberal bisa masuk bursa calon ketua. Harusnya, ada ketegasan sikap dari elit-elit NU untuk mencegah.
Padahal, KH. Hasyim Asy’ari sangat menetang ide-ide pluralisme, dan memerintahkan untuk melawan terhadap orang yang melecehkan Al-Qur’an, dan menentang penggunaan ra’yu mendahului nash dalam berfatwa (lihat Risalah Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah). Dalam Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyati Nadlatu al-‘Ulama, Hadratusyekh mewanti agar berhati-hati jangan jatuh pada fitnah – yakni orang yang tenggelam dalam laut fitnah, bid’ah, dan dakwah mengajak kepada Allah, padahal mengingkari-Nya.
Memang mestinya, nadliyyin yang liberal tidak mendapat tempat di dalam NU. Sebab, perjuangan Kyai Hasyim pada zaman dahulu adalah menerapkan syariat Islam. Untuk itulah beliau, sepulang dari belajar di Makkah mendirikan jam’iyyah Nadlatul Ulama’ – sebagai wadah perjuangan melanggengkan tradisi-tradisi Islam berdasarkan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Ketegasannya semoga tidak sekadar diwacanakan secara verbal. Tentu ini tidaklah cukup dibanding dengan kuatnya arus liberalisme di tubuh ormas Islam terbesar di Indonesia ini. Tindakan nyata dan tegas hukumnya fardlu 'ain bagi para ulama' yang memiliki otoritas dalam tubuh organisasi.
Ormas-ormas Islam terbesar di Indonesia seperti NU adalah aset bangsa yang harus diselamatkan dari gempuran virus liberalisme. NU dan Muhammadiyah bagi muslim Indonesia adalah dua kekuatan yang perlu terus di-backup. Jika dua kekuatan ini lemah, tradisi keislaman Indonesia pun bisa punah. Maka, andai Kyai Hasyim hidup saat ini, beliau pasti akan berada di garda depan menolak pemikiran Liberal.[www.hidayatullah.com]
*)Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor - Ponorogo
Oleh: Kholili Hasib*
SUSUNAN Pengurus PBNU telah diumumkan, namun apakah sudah steril dari orang-orang liberal? Tentunya, harapan itu besar bagi umat Islam Indonesia. Sudah saatnya arus liberalisasi agama yang diusung oleh sebagian intelektual muda NU belakangan ini ditanggapi serius dan tegas. Sebab, pemikiran ‘nyeleneh’ mereka sangat jauh dari ajaran-ajaran KH. Hasyim Asy’ari –pendiri NU – yang dikenal tegas dan tidak kompromi terhadap tradisi-tradisi batil.
Ironinya, ketokohan Kyai Hasyim tidak hanya sudah ditinggalkan, akan tetapi malah berusaha ditarik-tarik dengan mengatakan, Kyai Hasyim adalah tokoh inklusif.
“KH. Hasyim adalah tokoh moderat, menghargai keberagamaan, dan terbuka,” begitu ungkap seorang kader muda NU, dalam acara bedah bukunya berjudul “Hadratussyaikh; Moderasi Keumatan dan Kebangsaan” pada 13 Maret 2010 di Jombang.
Penulisnya yang juga aktivis Islam Liberal, tampaknya ingin menarik-narik bahwa pemikiran Kyai Hasyim sesuai dengan pemikiran progresif anak-anak muda NU saat ini.
Progresif dalam pemikirannya, adalah yang tak jauh dari pemikiran liberal dan inklusif. Tentu, ini sebuah kesimpulan yang cenderung gegabah. Kesimpulannya tersebut akan membawa dampak tidak sehat terhadap organisasi NU ke depan. Sebab, ketokohan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari sangat jauh dari ide-ide inklusifisme (keterbukaan) mereka. Pada zamannya, harap dicatat, Kyai Hasyim adalah tokoh sangat concern membela syari’at Islam.
Dalam konteks dinamika pemikiran progresif anak-anak muda NU seperti sekarang, cukup menarik bila kita mengkomparasikan dengan pemikiran founding father Jam’iyah NU ini. Ada jarak yang cukup lebar ternyata antara ide-ide Kyai Hasyim dengan wacana-wacana yang dikembangkan kader-kader muda NU yang liberal itu.
Ketokohan KH. Hasyim Asy’ari yang sangat disegani, membuat orang NU ingin diakui sebagai pengikut beliau. Akan tetapi, upaya pengakuan yang dilakukan anak-anak muda liberal NU tidak dilakukan dengan mengaca pada perjuangan dan ideologi Kyai Hasyim.
Sebaliknya, pemikiran Kyai Hasyim justru secara paksa disama-samakan dengan pemikiran iklusivisme mereka. Padahal Kyai Hasyim pada zamannya terkenal sebagai ulama’ yang tegas dan tidak kompromi dengan tradisi-tradisi yang tidak memiliki dasar.
Ketegasan Kyai Hasyim
Wajah pemikiran pendiri NU ini yang paling menonjol adalah dalam pendidikan Islam, sosial politik, dan akidah. Akan tetapi pemikiran terakhir beliau ini belum banyak dielaborasi. Padahal untuk bidang keyakinan yang prinsip, beliau dikenal mengartikulasikan basicfaithnya secara ketat, tegas, dan tidak kompromi.
Dalam kitabnya Al-Tasybihat al-Wajibat Li man Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat mengisahkan pengalamannya. Tepatnya pada Senin 25 Rabi’ul Awwal 1355 H, Kyai Hayim berjumpa dengan orang-orang yang merayakan Maulid Nabi SAW. Mereka berkumpul membaca Al-Qur’an, dan sirah Nabi.
Akan tetapi, perayaan itu disertai aktivitas dan ritual-ritual yang tidak sesuai syari’at. Misalnya, ikhtilath (laki-laki dan perempuan bercampur dalam satu tempat tanpa hijab), menabuh alat-alat musik, tarian, tertawa-tawa, dan permainanan yang tidak bermanfaat. Kenyataan ini membuat Kyai Hasyim geram. Kyai Hasyim pun melarang dan membubarkan ritual tersebut.
Dalam aspek keyakinan, Kyai Hasyim juga telah wanti-wanti warga Nadliyyin agar menjaga basic-faith dengan kokoh. Pada Muktamar ke-XI pada 9 Juni 1936, Kyai Hasyim dalam pidatonya menyampaikan nasihat-nasihat penting. Seakan sudah mengetahui akan ada invasi Barat di masa-masa mendatang, dalam pidato yang disampaikan dalam bahasa Arab, beliau mengingatkan, “Wahai kaum muslimin, di tengah-tengah kalian ada orang-orang kafir yang telah merambah ke segala penjuru negeri, maka siapkan diri kalian yang mau bangkit untuk…dan peduli membimbing umat ke jalan petunjuk.”
Dalam pidato tersebut, warga NU diingatkan untuk bersatu merapatkan diri melakukan pembelaan, saat ajaran Islam dinodai. “Belalah agama Islam. Berjihadlah terhadap orang yang melecehkan Al-Qur’an dan sifat-sifat Allah Yang Maha Kasih, juga terhadap penganut ilmu-ilmu batil dan akidah-akidah sesat”, lontar Kyai Hasyim. Untuk menghadapi tantangan tersebut, menurut Kyai Hasyim, para ulama harus meninggalkan kefanatikan pada golongan, terutama fanatik pada masalah furu’iyah. “Janganlah perbedaan itu (perbedaan furu’) kalian jadikan sebab perpecahan, pertentangan, dan permusuhan,” tegasnya.
Tegas, tidak kenal kompromi dengan tradisi-tradis batil, serta bijaksana, inilah barangkali karakter yang bisa kita tangkap dari pidato beliau tersebut. Bahkan pidato tersebut disampaikan kembali dengan isi yang sama pada Muktamar ke-XV 9 Pebruari 1940 di Surabaya. Hal ini menunjukkan kepedulian beliau terhadap masa depan warga Nadliyyin dan umat Islam Indonesia umumnya, terutama masa depan agama mereka ke depannya – yang oleh beliau telah diprediksi mengalami tantangan yang berat.
Situasi aktual yang akan dihadapi kaum muslim ke depan sudah menjadi bahan renungan Kyai Hasyim. Dalam kitab Risalah Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah, beliau mengutip hadis dari kitab Fathul Baariy bahwa akan datang suatu masa bahwa keburukannya melebihi keburukan zaman sebelumnya. Para ulama dan pakar hukum telah banyak yang tiada. Yang tersisa adalah segolongan yang mengedepan rasio dalam berfatwa. Mereka ini yang merusak Islam dan membinasakannya.
Dalam kitab yang sama, mbah Hasyim (demikian sering dipanggil) menyinggung persoalan aliran-aliran pemikiran yang dikhawatirkan akan meluber ke dalam umat Islam Indonesia. Misalnya, kelompok yang meyakini ada Nabi setelah Nabi Muhammad, Rafidlah yang mencaci sahabat, kelompok Ibahiyyun – yaitu kelompok sempalan sufi mulhid yang menggugurkan kewajiban bagi orang yang mencapai maqam tertentu - , dan kelompok yang mengaku-ngaku pengikut sufi beraliran wihdatul wujud, hulul, dan sebagainya.
Menurut Kyai Hasyim, term wihdatul wujud dan hulul dipahami secara keliru oleh sebagian orang. Kalaupun term itu diamalkan oleh seorang tokoh sufi dan para wali, maka maksudnya bukan penyatuan Tuhan dan manusia (manunggaling kawula).
Seorang sufi yang mengatakan “Maa fi al-Jubbah Illa Allah”, maksudnya adalah bahwa sesuatu yang ada dalam jubbah atau benda-benda lainnya di alam ini tidak akan wujud, kecuali karena kekuasaan-Nya. Artinya, menurut Kyai Hasyim, jika istilah itu dimaknai manunggaling kawula, maka beliau secara tegas menghukumi kafir.
Karakter pemikiran yang diproduk Kyai Hasyim memang terkenal berbasis pada elemen-eleman fundamental. Dalam karya-karya kitabnya, ditemukan banyak pandangan beliau yang menjurus pada penguatan basis akidah. Dalam kitabnya Risalah Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah itu misalnya, Kyai kelahiran Jombang ini menulis banyak riwayat tentang kondisi pemikiran umat pada akhir zaman.
Oleh sebab itu, Kyai Hasyim mewanti-wanti agar tidak fanatik pada golongan, yang menyebabkan perpecahan dan hilangnya wibawa kaum muslim. Jika ditemukan amalan orang lain yang memiliki dalil-dalik mu’tabarah, akan tetapi berbeda dengan amalan syafi’iyyah, maka mereka tidak boleh diperlakukan keras menentangnya. Sebaliknya, orang-orang yang menyalahi aturan qath’i tidak boleh didiamkan. Semuanya harus dikembalikan kepada al-Qur’an, hadis, dan pendapat para ulama terdahulu.
NU Tapi Liberal
Sayangnya, model pemikiran-pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tersebut tidak menjadi kaca yang baik. Bahkan ‘kaca’ pemikiran Kyai Hasyim berusaha diburamkan sedemikian rupa, terutama oleh anak-anak muda NU yang liberal.
Punggawa-punggawa Jaringan Islam Liberal (JIL) tak sedikit berlatar belakang NU. Akan tetapi, yang diperjuangkan bukan lagi ke-NU-an sebagaimana ajaran Kyai Hasyim, melainkan pluralisme, sekularisme, kesetaraan gender, dan civil society.
Beberapa intelektual muda NU yang hanyut dalam arus liberalisme agama harus ditanggapi serius. Pemikiran anak-anak muda itu cukup membahayakan. Tidak hanya bagi NU, tapi juga keberagamaan di Indonesia secara umum.
KH. Hasyim Muzadi ketika masih menjabat ketua PBNU telah merasa gerah dengan munculnya wacana liberalisasi agama yang melanda kalangan muda NU. Beliau telah menyadari bahwa liberalisme telah menjadi tantangan di NU.
Sebab, liberalisasi agama jelas menyalahi tradisi NU, apalagi melawan perjuangan KH. Hasyim Asy’ari. ”Liberalisme ini mengancam akidah dan syariah secara bertahap,” ujar KH Hasyim Muzadi seperti dikutip www.nuonline.com pada 7 Februari 2009.
Kekhawatiran tersebut memang perlu menjadi bahan muhasabah di kalangan warga NU. Sebab, invasi anak-anak muda tersebut pelan-pelan akan menghujam ormas Islam terbesar tersebut. Kasus Ulil yang memberanikan diri mencalonkan diri sebagai ketua PBNU dalam muktamar kemarin adalah sebuah sinyal kuat, bagaimana tokoh liberal bisa masuk bursa calon ketua. Harusnya, ada ketegasan sikap dari elit-elit NU untuk mencegah.
Padahal, KH. Hasyim Asy’ari sangat menetang ide-ide pluralisme, dan memerintahkan untuk melawan terhadap orang yang melecehkan Al-Qur’an, dan menentang penggunaan ra’yu mendahului nash dalam berfatwa (lihat Risalah Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah). Dalam Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyati Nadlatu al-‘Ulama, Hadratusyekh mewanti agar berhati-hati jangan jatuh pada fitnah – yakni orang yang tenggelam dalam laut fitnah, bid’ah, dan dakwah mengajak kepada Allah, padahal mengingkari-Nya.
Memang mestinya, nadliyyin yang liberal tidak mendapat tempat di dalam NU. Sebab, perjuangan Kyai Hasyim pada zaman dahulu adalah menerapkan syariat Islam. Untuk itulah beliau, sepulang dari belajar di Makkah mendirikan jam’iyyah Nadlatul Ulama’ – sebagai wadah perjuangan melanggengkan tradisi-tradisi Islam berdasarkan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Ketegasannya semoga tidak sekadar diwacanakan secara verbal. Tentu ini tidaklah cukup dibanding dengan kuatnya arus liberalisme di tubuh ormas Islam terbesar di Indonesia ini. Tindakan nyata dan tegas hukumnya fardlu 'ain bagi para ulama' yang memiliki otoritas dalam tubuh organisasi.
Ormas-ormas Islam terbesar di Indonesia seperti NU adalah aset bangsa yang harus diselamatkan dari gempuran virus liberalisme. NU dan Muhammadiyah bagi muslim Indonesia adalah dua kekuatan yang perlu terus di-backup. Jika dua kekuatan ini lemah, tradisi keislaman Indonesia pun bisa punah. Maka, andai Kyai Hasyim hidup saat ini, beliau pasti akan berada di garda depan menolak pemikiran Liberal.[www.hidayatullah.com]
*)Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor - Ponorogo