Friday, April 16, 2010

Remunerasi Bau Terasi


Tuntutan agar program remunerasi dibatalkan marak pasca terbongkarnya kasus Gayus Tambunan. Namun Menteri Keuangan Sri Mulyani ngotot akan tetap menerapkan kebijakan ini. Padahal, gaji tinggi bukan jaminan bagi perbaikan kinerja. Ada udang di balik batu?

Mati satu tumbuh seribu, kata peribahasa. Begitu pula yang terjadi di tanah air, setelah aparat mengusut mafia pajak dan peradilan. Begitu kasus Gayus Tambunan, pegawai Ditjen Pajak Kementrian Keuangan pemilik rekening Rp 28 milyar terungkap, dan menyeret para pegawai pajak, penyidik polisi, jaksa, dan hakim, beberapa kasus mafia pajak dan kongkalikong para hamba hukum terbongkar pula.

Kasus lainnya adalah kasus Bahasyim Assifie. Bekas pegawai eselon II Ditjen Pajak yang kini menjadi inspektur di Bappenas itu punya rekening yang lebih spektakuler. Harap maklum, Gayus baru golongan III a, sementara Bahasyim golongan IV e dan puluhan tahun “mengabdi” sebagai pegawai negeri. Bahasyim bahkan pernah menjadi Kepala Pajak Jakarta VII. “Itu kantor pajak yang basah kuyup,” kata sumber Suara Islam.

Jika anak kemarin sore seperti Gayus punya rekening Rp 28 milyar, plus rumah dan apartemen mewah, Bahasyim yang sudah 30 tahun lebih malang melintang di Ditjen Pajak kabarnya memiliki pundi-pundi yang dicurigai haram, hingga ratusan milyar. Sebuah sumber Suara Islam mengatakan, Bahasyim punya rekening di berbagai bank dengan total Rp 200 milyar!! “Yang sekarang diramaikan Rp 70 milyar itu baru yang di BNI,” kata sumber itu.

Selain rekening, kekayaan Bahasyim dalam bentuk rumah dan tanah pun luar biasa. Doktor perpajakan pertama dari Indonesia ini punya sejumlah rumah mewah. Dua diantaranya di kawasan elit Menteng, Jakarta Pusat, juga di Cimanggis, Depok, Jawa Barat; Kalibata, Jakarta Timur; dan Perumahan Jaka Permai, Kalimalang, Bekasi, Jawa Barat. Kini, Bahasyim telah ditahan polisi di Polda Metro Jaya untuk diselidiki lebih lanjut.

Kasus ini terendus PPATK ketika ada transaksi mencurigakan di rekening mahasiswi usia 19 tahun bernama Winda Arum Hapsari. Ternyata Winda putri Bahsyim. Dalam rekening dia, ada uang Rp 25 miliar dan US $ satu juta. Transaksi mencurigakan juga terlihat di rekening ibunda Winda, Sri Purwanti. Di rekening istri Bahasyim ini, ada uang sebesar Rp 35 miliar. Dari kedua rekening inilah aparat menyelidiki asal muasal aliran dana.

Kasus Bahasyim diadukan PPATK pada Maret 2009 ke Mabes Polri dan Kejaksaan Agung, namun tak segera disidik. “Kasus ini sengaja diendapkan,” kata mantan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji. Belakangan Kadiv Humas Polri Irjen Edward Aritonang mengatakan kasus itu sudah dilimpahkan ke Polda Metro Jaya.

Padahal, sumber Suara Islam di Mabes Polri mengatakan bahwa kasus itu baru dua minggu lalu diserahkan ke Polda Metro, setelah sekian lama mengendap. “Diserahkan setelah kasus Gayus marak,” kata sumber itu. Adapun Jaksa Agung Muda bidang Pidana Khusus Marwan Effendy mengakui laporan itu tersendat di Kejaksaan Agung. Alasan Marwan menggelikan. “Berkas itu ditujukan ke Jampidum, padahal ini kan pidana khusus,” ujarnya.

Di Markas Besar Polri, kasus ini sempat ditangani, tapi hanya sampai penyelidikan. Sebab, penyidik dan Bahasyim sepakat damai dan penyidikan tak diteruskan. “Tapi penyidik minta ini–itu, Bahasyim jadi ATM berjalan,” kata seorang perwira intelijen di Pejaten. Ketika kasus ini mulai dibicarakan, sumber Suara Islam mengatakan bahwa beberapa penyidik yang sempat menangani Bahasyim kasus ini mulai panik.

Efek Domino Kasus Gayus
Terungkapnya kasus Gayus Tambunan, makelar kasus pajak yang dibongkar Susno Duadji itu bagaikan rontoknya kartu domino. Satu persatu para petugas nakal dicopot. Setelah polisi mencopot Brigjen Edmond Ilyas dan beberapa perwira menengah, Jaksa Agung pun mencopot beberapa jaksa seniornya, karena diduga terlibat kongkalikong pembebasan Gayus. Terakhir, Kementrian Keuangan pun merombak jajaran Dirjen Pajak.

Di Dirjen Pajak, 10 atasan Garus di Direktorat Keberatan dan Banding di nonaktifkan. Tiga orang dibebastugaskan dan tujuh lainnya diturunkan dari jabatan. Beberapa di antara mereka akan dijadikan tersangka. Maka tak pelak, kasus ini membuat deg-degan pegawai pajak. Apalagi Bahasyim kini harus menginap di hotel prodeo. Para pegawai Pajak yang kekayaannya melebihi batas wajar mulai panik. Mereka pun mulai sibuk menyelamatkan diri.

Tak hanya takut bakal diciduk aparat, kata Dirjen Pajak Muhammad Tjiptardjo, kini para pegawai Ditjen Pajak seolah dihakimi massa secara moral. Mereka ngeri terhadap kemarahan masyarakat yang tersulut oleh pemberitaan media yang gegap gempita tentang sepak terjang kasus Gayus. “Mereka sampai-sampai tidak berani memakai seragam Dirtjen Pajak karena ada yang diteriaki maling,” kata Tjiptardjo.

Pegawai pajak yang tidak nakal tentu tak terpengaruh. Tapi yang nakal, kepanikan melanda. Seorang pegawai pajak di Semarang diberitakan mundur karena mempunyai rumah mewah di kawasan elit Semarang, dengan harga lebih dari Rp 2 miliar. Padahal dia hanya pegawai biasa. “Mungkin di STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara) seangkatan dengan Gayus Tambunan," kata seorang pegawai pajak sebagaimana dikutip VIVANews.

Namun, Ketua Badan Anggaran DPR Harry Azhar Aziz berkata, terbongkarnya kasus Gayus adalah awal yang baik. Ia yakin penerimaan negara dari sektor pajak bisa naik Rp 25 - 50 triliun jika mafia pajak dilenyapkan. “Saya asumsikan dengan 10 persen yang nakal dari total pegawai, penerimaan negara bisa naik Rp 50 triliun," ujar Harry. Dengan asumsi Rp 200 triliun hilang, terbongkarnya kasus ini akan membawa berkah untuk negara Indonesia.

Terbongkarnya kasus Gayus, Bahasyim dan kasus-kasus lain yang segera menyusul, mau tak mau mengusik perhatian masyarakat, terutama tentang rencana renumerasi atau kenaikan gaji dan tunjangan pegawai negeri sipil di Kementrian Keuangan. Ekonom Econit DR Rizal Ramli meminta agar dilakukan moratorium atau penghentian sementara program remunerasi di lingkungan Kementerian Keuangan, dan memperbaiki sistemnya dulu.

Menurut Rizal rencana Menkeu Sri Mulyani Indrawati untuk menaikan gaji dahulu, baru kemudian meningkatkan kinerja pegawai adalah aneh dan tak pernah terjadi di mana pun di dunia ini. “Biasanya ditingkatkan kinerjanya, etos kerjanya dan produktifitasnya dulu, baru kalau berhasil maka dinaikkan penghasilannya,” kata Rizal Ramli. Apalagi remunerasi di Kementrian Keuangan justru telah menimbulkan diskriminasi antar jajaran PNS.

Asal Muasal Ide Remunerasi

Ide remunerasi gaya Sri Mulyani berawal dari pertemuan di Yogyakarta pada Februari 2007, setelah Menko Perekonomian Boediono dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM. Menteri Keuangan Sri Mulyani, saat itu menantang pejabat eselon II, III dan staf Depkeu untuk memperbaiki kesejahteraan pegawai. “Tidak mungkin Reformasi Birokrasi dilakukan kalau take home pay pegawai negeri secara umum masih minim,” ujarnya.

Sri Mulyani lalu bercerita bahwa gajinya sebagai Menteri sangat jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan penghasilannya saat bertugas di IMF. Sri Mulyani juga bercerita, bahwa ada seorang menteri yang sedang sakit, secara pribadi minta bantuan dana kepadanya karena tak bisa membayar ongkos perawatan rumah sakit. Dari situ, Sri Mulyani menegaskan bahwa remunerasi harus terjadi.

Beberapa minggu kemudian Rapim Depkeu digelar. Sri Mulyani makin tegas soal perbaikan kesejahteraan pegawai Depkeu. “Untuk perbaikan kesejahteraan pegawai Depkeu kita harus berani melakukan diskriminasi. Caranya, perbaikan penghasilan harus diikuti job grading, yaitu penentuan kembali diskripsi pekerjaan masing-masing pegawai,” ujarnya. Beberapa rapim digelar dan tema Sri Mulyani semakin jelas: remunerasi.

Tema remunerasi lalu mulai dibicarakan terang-terangan. Meski, jauh sebelum Sri Mulyani menjadi Menteri Keuangan, perbaikan kesejahteraan pegawai sudah dilaksanakan di beberapa unit di Depkeu. Tunjangan Khusus Pembinaan Keuangan Negara (TKPKN), diam-diam sudah diterapkan beberapa Direktorat di Departemen Keuangan. Tentu saja TKPKN di Direktorat Pengelolaan Utang, berbeda dengan TKPKN di lingkungan Ditjen Perbendahraan.

Bagi Depkeu, dana bukan masalah. Sebab selain menguasai Penyusunan Laporan Keuangan Bagian Anggaran (BA) 15, yang memproses Laporan Realisasi Anggaran (LRA) ke Unit Akuntansi Pengguna Anggaran (UAPA), Depkeu juga mempunyai BA lain. Salah satunya, Bagian Anggaran Pembiayaan & Perhitungan, atau dikenal sebagai BA-16, lalu dipecah menjadi beberapa BA, antara lain BA 62, BA 69, BA 71 dan lain-lain. Jadi sejak sebelum Sri Mulyani menjadi Menkeu, TKPKN sudah dijalankan secara diam-diam.
Sebenarnya, pada 1971, saat Ali Wardhana menjadi Menteri Keuangan, remunerasi pernah dilakukan. Alasannya sama: untuk meningkatkan kinerja agar tidak terjadi kebocoran uang negara dan meningkatkan pendapatan negara melalui pajak.

Pegawai Depkeu, waktu itu, gajinya dinaikkan sampai 9X lipat. Tapi ternyata hasilnya sama saja! Kebocoran tetap terjadi, korupsi merajalela dan kinerja pun tak beranjak dari standar.

Kebijakan Ali Wardhana itu adalah pelaksaan Keppres No 15/1971. Di Keppres ini diatur tentang tunjangan khusus pegawai Depkeu. Beberapa bulan menjelang masa Sidang Paripurna DPR RI tahun 2007, Menteri Keuangan Sri Mulyani secara aktif mengajukan program remunerasi pada Panitia Anggaran (Panggar) DPR RI periode 2004-2009. Keppres di masa Orde Baru itu pula yang dipakai menjadi salah satu landasan hukum Sri Mulyani.

Kepada Panitia Anggaran DPR, Sri Mulyani menekankan bahwa UU no 12/1980 yang mengatur remunerasi lembaga negara sudah tak sesuai dengan kondisi. Alasannya, dalam UU itu tak diatur remunerasi lembaga negara yang baru dibentuk, seperti DPD, MK, dan Komisi Yudisial. Sejak Januari 2006 sudah dibentuk Tim Evaluasi Remunerasi Pejabat Negara beranggota Depkeu, Men-PAN, BKN, Depkumham, Setneg, Setkab, Depdagri, dan LAN.

Fraksi PAN DPR RI periode 2004-2009, adalah satu-satunya fraksi yang menolak permintaan anggaran remunerasi Depkeu. Alasan Fraksi PAN: Depkeu gagal mengamankan penerimaan perpajakan. Kedua, negara masih mengalami defisit anggaran, bahkan ada tren yang meningkat dalam tiga tahun terakhir. Untuk menutup defisit tersebut, pemerintah harus menambah utang baru, dari dalam maupun luar negeri selain privatisasi BUMN.

Pemberian remunerasi juga dinilai menyakiti rasa keadilan rakyat miskin maupun PNS di lembaga lain. Keppres No 15/1971 juga tak bisa dijadikan dasar hukum reformasi birokrasi karena Keppres ini hanya mengatur masalah tunjangan khusus bagi pegawai Depkeu. Adapun permintaan anggaran untuk remunerasi Depkeu pada RAPBNP 2007 belum melalui pembahasan Komisi XI. Jadi secara prosedural, persetujuan terhadap alokasi anggaran untuk remunerasi Depkeu melanggar Tata Tertib DPR Pasal 37 Ayat (2).

Menurut Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Yuna Farhan, pelaksanaan pilot project reformasi birokrasi dengan fokus pemberian remunerasi hanyalah menghamburkan uang rakyat. Pilot proyek reformasi birokrasi Depkeu itu diatur melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 289/KMK.01/2007 dan 290/KMK.01/2007. “Atas nama reformasi birokrasi, pejabat eselon I atau Dirjen di Kemkeu memperoleh remunerasi mencapai Rp 46,9 Juta per bulannya,” ujarnya.

Tunjangan prestasi juga mengalir ke MA melalui Perpres No 19 tahun 2008. Seolah tak mau rugi, Perpres ini berlaku surut, mulai September 2007. Dengan aturan itu, Ketua MA mendapatkan tunjangan kinerja hingga Rp 50 Juta. BPK-pun mendapatkan kucuran tambahan remunerasi. Padahal, tambahan remunerasi birokrasi ini berakibat pada kenaikan belanja pegawai pada 2008 di tiga lembaga ini dan menyedot anggaran hingga Rp 9,5 triliun.

Dengan program remunerasi ini, kenaikan belanja pegawai di Kemkeu mencapai 270 %, MA 230 %, dan BPK 163 %.  Dalam APBN Perubahan 2010, pemerintah mengalokasikan Rp 13,9 triliun untuk remunerasi reformasi birokrasi di beberapa kementerian/lembaga, dengan rincian Rp 10,6 triliun pada APBN 2010 dan ditambahkan Rp 3,3 triliun pada APBNP. “Tambahan ini tidak memiliki landasan hukum yang kuat karena bersifat parsial dan legalisasi untuk menguras uang Negara,” ujarnya.

Berangkat dari pelaksanaan reformasi birokasi yang tidak jelas ini FITRA meminta DPR menghapuskan tambahan remunerasi pada APBNP 2010 sebesar Rp 13,9 triliun. “Karena remunerasi terbukti tidak mengurangi korupsi di lingkungan birokrasi yang disebabkan keserakahan ketimbang rasa lapar,” ungkapnya.

Ada Agenda Apa?

Anehnya, meski kasus Gayus dan Bahasyim telah menorehkan aib ke wajah birokrasi, pemerintah tetap berencana melanjutkan program reformasi birokrasi. Remunerasi pun tetap menjadi bagian utamanya. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, reformasi birokrasi harus dilanjutkan karena hal ini diyakini menjadi aset atau cara untuk memperbaiki kinerja kementerian atau lembaga.

Tapi lihatlah komentar Sri Mulyani: “Dengan reformasi birokrasi yang makin diperkuat dan ditingkatkan, akan menentukan aliran modal masuk ke Indonesia,” ujarnya Jumat (9/4) lalu. Aliran dana yang masuk ini menjadi modal untuk meningkatkan investasi. Lihatlah, betapa logika reformasi birokrasi Sri Mulyani sangat berbau neoliberalis. Reformasi birokrasi menurut dia bukan untuk perbaikan kinerja dan keberlangsungan sistem pemerintahan dan birokrasi, tapi sekadar untuk menarik modal.

Logika berfikir bahwa reformasi birokrasi yang berbasis remunerasi ini tentu sangat menyedihkan, sebab sebenarnya uang yang dipakai untuk membayar gaji baru mereka sebenarnya berasal dari hutang luar negeri. Apalagi tahun ini pemerintah berniat menerapkan reformasi birokrasi pada 11 kementerian atau lembaga. Anggaran untuk perbaikan kinerja kelembagaan dan kementerian itu konon mencapai Rp 10 triliun.

Melihat kengototan Menteri Keuangan, dugaan bahwa ada bau amis dan maksud lain di balik semua rencana remunerasi ini kian merebak. Karena duit itu bersumber dari utang negeri, muncul dugaan bahwa Sri Mulyani hanya ingin melanggengkan model pembiayaan dengan utang yang menjadi acuan neoliberal. Cara ini pula yang khas dilakukan Mafia Berkeley, guru besar bagi Sri Mulyani dan lain-lain.

Dugaan lain, kebijakan remunerasi ini sebenarnya kebijakan yang diinstruksikan langsung oleh Presiden Yudhoyono. Tujuannya bukan untuk perbaikan birokrasi yang sebenarnya, tapi lebih pada hadiah dan upaya meredam gejolak yang mungkin muncul di kalangan pegawai negeri. Maklumlah, pemilih SBY dalam pemilihan umum lalu berasal dari keluarga pegawai negeri.

Desember lalu SBY berjanji menaikkan gaji PNS. “Sudah kami ambil keputusan menaikkan tahun depan,” kata SBY saat Munas V Kadin, di Gedung JCC, Minggu (21/12). Saat menyampaikan RAPBN 2009 dan Nota Keuangan pada paripurna DPR RI, 15 Agustus, SBY juga berjanji menaikkan gaji PNS, TNI, polisi dan pensiunan. Kenaikan berlaku untuk gaji pokok dan pensiun pokok, yang rata-rata akan terkatrol 15 persen..

Namun pakar ekonomi dari UGM DR Hendri Saparini mengingatkan agar Menkeu tidak keras kepala dengan mengklaim bahwa reformasi birokrasi di Ditjen Pajak sudah berjalan. Sebab reformasi hanya dinilai dari segi gaji berupa pemberian remunerasi. “Padahal dalam reformasi birokrasi ada empat hal, yaitu rekrutmen yang benar, penempatan yang sesuai, pemberian punishment, dan terakhir baru pemberian remunerasi,” kata Hendri.

Dari empat komponen refomasi birokrasi, saat ini hanya pemberian remunerasi yang dilakukan dengan nilai mencapai 400 persen gaji. Anehnya pemerintah sudah merasa berhasil melakukan reformasi birokrasi, dan lupa melakukan pengawasan. “Kalau langkahnya hanya seperti ini, sama saja dengan tetap membiarkan peluang tilep-menilep dan korupsi terbuka, karyawan diberi gaji yang besar,” kata Hendri.

Dengan terkuaknya kasus Gayus, Hendri berharap agar pemerintah membuka mata bahwa kebijakannya belum berhasil. Jika kebijakan ini tidak segera diperbaiki, sekuat apapun pemerintah memberantas mafia pajak, hasilnya tak bisa diharapkan. Apalagi reformasi birokrasi di Ditjen Pajak sudah menelan biaya sangat tinggi. “Dari APBN, tiap tahun harus digelontorkan lebih dari Rp 4 triliun. Belum lagi bantuan dari Bank Dunia yang mencapai Rp 1,4 triliun dan bantuan dari negara-negara sahabat,” ujarnya.

Akibat desakan para ekonom, DPR mulai mengkaji ulang rencana remunerasi kepada pegawai negeri. “Kasus Gayus sangat penting untuk mengevaluasi apakah sistem renumerasi yang dijalankan efektif dan efisien," kata Harry Azhar Azis. Sebab kasus itu melibatkan departemen dan lembaga yang telah mendapat renumerasi. Harapan bahwa kenaikan gaji akan mengurangi kenakalan dan tingkat korupsi pegawai negeri tak terbukti.

Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Golkar, Ade Komarudin menegaskan bahwa partainya akan menolak tambahan Rp 3,3 triliun dalam APBNP 2010 untuk remunerasi di Kemkeu. Jika penambahan anggaran untuk program pengurangan kemiskinan, pengangguran, peningkatan kesejahteraan rakyat, serta pembangunan infrastruktur, Golkar akan mendukung. “Tapi karena untuk Remunerasi, Golkar menolak mati-matian," kata Ade. (Abu Zahra/berbagai sumber)