Friday, April 30, 2010

Nasyid, Nasibmu Kini



13 tahun yang lalu, tepatnya sekitar tahun 1997, nasyid masih terdengar sangat asing. Hanya ada satu dua orang yang memutar lagu-lagu nasyid, itupun hanya di kalangan mahasiswa, dan terbatas pula, aktivis masjid saja.
Awal Kebangkitan Nasyid
Nasyid Quds menjadi favorit. Musik yang hanya diiringi oleh tetabuhan duf atau sejenis drum itu menjadi favorit dan alternatif lain untuk generasi muda minoritas ketika itu. Krisis moneter—terkenal dengan sebutan krismon—tidak memalingkan minat anak muda pada salah satu infrastruktur hidupnya itu. Ketika itu yang tengah digemari adalah musik-musik pop dari para boysband (band yang terdiri dari anak remaja laki-laki yang bermodalkan tampang bagus, dan hanya satu orang saja yang bernyanyi sedangkan sisanya sebagai pelengkap belaka).

Selain Quds, yang juga terkenal di kalangan anak muda masjid kampus itu adalah Raihan, grup nasyid asal Malaysia. Satu album Raihan yang berlabel “Puji-Pujian” juga menjadi kaset yang sering diputar di kamar kost para mahasiswa itu, jika tidak sedang mendengarkan murotal Qur’an dari tape recordernya. Jauh sebelum Raihan, ada The Dzikr dengan album “Secerah Pewarna”—merupakan grup nasyid yang juga dibentuk oleh Nazrey Johani, vokalis utama Raihan.
Tahun 2000, Booming Nasyid

Bagaimana dengan nasyid lokal? Snada kemudian muncul. Diikuti dengan Izzatul Islam (Izis), dalam waktu yang tak terlalu berjauhan. Snada dengan konsep nasyid pop, sementara Izis mengambil jalur nasyid haroki. Masing-masing mengeluarkan karya terbaiknya, namun jika Izis langsung berhasil membuat sebuah masterpiece “Kembali” yang fenomenal, Snada baru bisa menghasilkan karya terbaiknya (justru di penghujung karirnya) di album “Neoshalawat.” Kedua album itu menjadi sumbangsih terbesar kedua supergrup nasyid tersebut, dan mungkin tak akan pernah bisa diulangi lagi.
Ketika itu, mendengarkan nasyid menjadi sesuatu yang luar biasa dan istimewa. Seseorang yang bukan aktivis pun bisa merinding ketika mendengar lantunan musik Islam ini. Seiring dengan menanjaknya ghiroh pemahaman Islam di kalangan anak muda ketika itu, nasyid kemudian menjadi fenomena lain. Tahun 2000, bisa dikatakan sebagai awal booming nasyid. Ditandai dengan kehadiran grup-grup nasyid seperti Brothers, The Fikr, Justice Voice, Gondes, dan lain-lainnya, perlahan-lahan para munsyid (julukan para pelantun nasyid) mulai dikenal di khalayak ramai.
Karya-karya nasyid yang bagus dan bergizi pun semarak dan grup-grup nasyid bermunculan di setiap kota (bahkan di pelosok kota kecil sekalipun), dan itu memunculkan persaingan yang sehat. Sementara, para veteran nasyid seperti Izis, Snada, dan Raihan pun makin menjadi. Perkembangan ini terjadi sampai kira-kira tahun 2005 atau 2006.
Opick, Menyaingi Nasyid
Apa yang terjadi setelah tahun 2006? Dimulai dengan kemunculan Opick dengan single “Tombo Ati” dan kemudian disusul dengan album penuh berisi lagu-lagu pop yang bernuansakan Islam seperti “Alhamdulillah”, dan “Bila Waktu Telah Berakhir”, saat itulah nasyid mulai menurun.

Kesuksesan Opick yang luar biasa dengan album religinya itu membuka jalan bagi para musisi jalur mayor, musisi-musisi professional, dan bahkan para grup band. Gigi, misalnya. Setiap bulan Ramadhan, grup band yang dimotori Armand Maulana ini rutin mengeluarkan album religi. Hasilnya? Sangat menguntungkan dari segi bisnis. Perlahan tapi pasti, pop religi benar-benar merajai dan menguasai pasar musik Islam.
Puncaknya adalah tiga tahun belakangan ini. Semua pemain di dunia musik sudah menyadari segmentasi dan keuntungan besar dari musik religi. Maka, setelah Gigi, grup band lain yang terjun merambah sayap ke segmen ini ada Ungu, ST12, Wali, Vagetos dan lainnya lagi, yang salah satu atau dua personilnya bahkan bukan seorang Muslim. Di sektor solois, Opick diikuti oleh Afghan, Vidi Aldiano, dan beberapa yang lainnya lagi. Kemanakah nasyid kini?
Nasyid Mati Suri

Praktis, sejak tahun 2007, nasyid semakin tenggelam dan asing. Tak ada lagi nama-nama besar yang bisa dijadikan brand nasyid. Izis—tahun lalu—mencoba mengeluarkan nasyid-nasyid seperti “Rabithah” namun gaungnya tak sedahsyat dulu. Begitu pula Snada. Raihan? Sudah lama kelompok nasyid tenar ini tak ada kabarnya lagi.
Kini, di acara-acara islami di manapun, seperti dalam acara buka puasa bersama, acara pelatihan dan bedah buku, atau acara lainnya yang dulu banyak diselingi dengan grup nasyid live, digantikan oleh pop-pop religi. Nasyid tidak bisa bertahan sebagai sebuah industri, hanya jadi trend sesaat.
Sekarang ini, mungkin selain juga terus menghidupkan nasyid sebagai alternatif sampingan kala jenuh dan suntuk, kita juga harus mempersiapkan generasi muda kita, anak-anak atau adik-adik kita, untuk kembali menyemarakkan nasyid sebagai hiburan di rumah. (sa/berbagaisumber)
foto: innet
eramuslim