Topik tentang cinta memang tak ada matinya. Tema yang satu ini tidak pernah tidak laku, lantaran semua manusia mengimpikannya. Cinta bisa membuat hidup manusia berbunga-bunga, bagaikan tak ada lagi yang dipedulikannya. Tapi cinta juga yang bisa membuat hidup lebih sengsara daripada di penjara, karena tak ada penjara yang lebih menyakitkan daripada cinta yang tak tersampaikan.
Tapi makna cinta itu sendiri sudah tidak jelas lagi maksudnya apa, karena masing-masing orang menggunakan definisinya sendiri-sendiri. Bahkan pintu diskusi pun tak jarang ditutup dengan mengatakan bahwa ”cinta memang tak bisa dilogikakan”. Mungkin ungkapan ini disebabkan oleh banyaknya orang yang tak bisa diajak berpikir logis kalau sedang jatuh cinta. Tapi kalau putus cinta menghasilkan pembunuhan, apakah pelakunya akan dibiarkan lepas dengan alasan akalnya sudah tak sehat lagi? Biasanya tidak.
Orang bilang, cintalah yang bisa menyatukan dua manusia yang berlainan jenis. Memang betul, manusia punya fitrah untuk saling berpasang-pasangan dan saling membina cinta. Tapi sekarang, yang sejenis pun ingin bercinta-cintaan. Kata mereka, yang penting cinta. Lebih baik homoseks tapi cinta daripada heteroseks tapi terpaksa. Lalu dikemanakan opsi heteroseks + cinta?
Bagaimanapun, sampai detik ini kita belum mengenal pasangan homoseks yang dijadikan model bagi keluarga bahagia. Sebab di dalamnya senantiasa ada kepura-puraan; ada yang berpura-pura maskulin, ada juga yang berpura-pura feminin. Laki-laki yang berpura-pura jadi perempuan, biarpun genitnya melampaui perempuan, ketika marah ia tetaplah lelaki. Fisik menjadi andalan, dan kalau sudah tidak ada jalan keluar maka pilihannya hanya kekerasan. Kekuatan lelaki yang dipadu dengan perasaan sensitif perempuan adalah kombinasi yang berbahaya. Itulah sebabnya seorang waria lebih berbahaya, karena kalau sampai ia terbawa perasaan (seperti perempuan) dengan tenaganya yang murni lelaki, maka tidak jarang menghasilkan pembunuhan-pembunuhan sadis seperti yang dimuat di surat-surat kabar. Kerancuan yang serupa (walau tak sama) pasti dialami juga oleh perempuan yang berpura-pura menjadi lelaki. Biarpun berusaha untuk tampil jantan layaknya lelaki, suatu saat ia terpaksa mengakui juga bahwa ia adalah perempuan. Pada akhirnya mereka juga akan kehilangan sumber cinta yang lain, yaitu keturunan, karena untuk dapat keturunan tak bisa berpasangan dengan sesama jenis. Ada yang memaksakan diri mengadopsi anak, tapi anak itu dikhawatirkan tak bisa mendapatkan cinta yang seimbang layaknya anak-anak lain, karena ayahnya bukan benar-benar lelaki, atau ibunya yang bukan benar-benar perempuan. Cinta macam apa gerangan yang mengorbankan kepentingan anak?
Ada yang bilang dirinya sedang jatuh cinta, tapi jatuh yang ini sama sekali tidak sakit. Kalau penasaran, iya! Tapi orang yang sama bisa saja dalam waktu singkat mengalami putus cinta, walaupun cintanya tak benar-benar putus. Kalau sudah benar-benar putus, tentu takkan sengsara. Kalau sudah cinta pada orang, cinta pada diri pun kadang terlupakan. Maka ketika cinta tak sampai, hilanglah penghargaan pada diri sendiri. Hari-hari dilalui dengan murung, hidup sudah enggan, bahkan banyak yang lebih ingin mati saja.
Bagi sebagian orang, cinta itu semacam ketetapan hati manusia yang tak boleh diganggu gugat, bahkan oleh Tuhan sekalipun. Kalau sudah memutuskan untuk jatuh cinta, maka tak ada yang boleh mengajukan kritik atau interupsi. Ketika mata tertuju pada satu orang lelaki atau perempuan, maka populasi manusia yang lainnya sudah dianggap tidak relevan. Begitu kenalnya manusia dengan cinta, sehingga seolah-olah ia tak mungkin salah. Seolah-olah ia sudah menemukan yang terbaik, dan tak ada lagi yang lebih baik darinya.
Setelah menjadi kata benda, cinta pun disulap menjadi kata kerja. Maka ramailah penyanyi berdendang, ”mari bercinta...” Siapa yang tak mampu memaknai ungkapan ini jika ditingkahi dengan tari-tarian erotis penyanyi dan para penari latarnya? Dalam logika Barat, cinta bahkan sudah bisa direkayasa (“make love”), bahkan mungkin diproduksi massal. Tapi mereka menipu diri sendiri, karena banyak yang berani mengajak “make love“ tapi sedikit saja yang berani mengatakan “I love you!”. Maka manusia pun berubah menjadi binatang-binatang buas yang mencari pasangan sekedar untuk menunaikan hak tubuhnya sendiri.
Ada juga jenis cinta yang lain, yang jauh dari kebinatangan manusia atau kemanusiaan binatang. Cinta jenis ini tak mungkin hadir tanpa tanggung jawab. Cinta ini tidak hanya pandai bicara tentang keinginan dan kebutuhannya sendiri, melainkan justru dengan sigap menangkap keinginan dan kebutuhan obyek cintanya. Pasangan yang memupuk cinta semacam ini tidak perlu wajah molek dan tubuh seksi, karena waktu yang berjalan sudah cukup baginya. Semakin banyak waktu dihabiskan bersama, semakin mereka tak bertanya-tanya lagi soal cinta.
Kata seorang ustadz, para sahabat Rasulullah saw. dulu menikah bukan dengan pertimbangan cinta, tapi tanggung jawab. Kalau sudah pantas menikah, dan sudah siap bertanggung jawab, maka menikahlah. Cinta akan tumbuh belakangan, perlahan dan pasti. Berbeda sekali dengan orang yang belum apa-apa sudah dimabuk cinta, dan akhirnya terjerumus ke dalam jurang kenistaan, hingga akhirnya dipaksa-paksa untuk bertanggung jawab.
Pernikahan macam apa yang tidak dimulai dengan cinta? Mungkin pertanyaan yang lebih penting untuk diajukan adalah: Cinta macam apa yang tidak lahir dalam sebuah pernikahan? Sebab hanya pernikahanlah yang membuka semua tabir, sehingga tak ada lagi kepura-puraan di antara kedua belah pihak yang mengikat janji. Pada saat itulah pembicaraan tentang cinta menjadi benar-benar valid, karena cinta muncul dalam bentuk sejatinya, bukan hasil rekayasa atau akting semata.
Lalu apa jaminannya cinta akan tumbuh setelah menikah? Ah, jika yang menikah sama-sama beriman dan menjaga kesalehannya, mana mungkin tak akan cinta? Jika suami memperlakukan istri dengan mencontoh Rasulullah saw., dan istri memperlakukan suami dengan mencontoh istri-istri Rasulullah saw., bagaimana mungkin takkan cinta? Tapi kalau acuannya beda, ya memang susah!
http://akmal.multiply.com/journal/item/780/Macam-macam_Cinta_dan_Cinta_Macam-macam